Diskusi 2

Ni Made Dewi Purnama Sari_202221121004_Diskusi 2

Ni Made Dewi Purnama Sari_202221121004_Diskusi 2

by NI MADE DEWI PURNAMA SARI -
Number of replies: 0

Nama          : Ni Made Dewi Purnama Sari

NPM           : 202221121004

Prodi          : Ilmu Pemerintahan

Universitas Warmadewa

 

TOPIK : Perubahan regulasi terakhir pemerintahan desa di Indonesia berdasarkan UU Desa no 6 tahun 2014 dengan UU Desa No 3 tahun 2024 dan analisis dari 3 jurnal yang telah diberikan.

 

1. Menurut saya yang paling signifikan perubahan regulasi terakhir pemerintahan desa di Indonesia berdasarkan UU Desa no 6 tahun 2014 dengan UU Desa No 3 tahun 2024 adalah ketentuan Perubahan Masa Jabatan Kepala Desa (Pasal 39) yang dimana masa jabatan kepala desa menjadi 8 tahun dan dapat dipilih paling banyak dua kali masa jabatan. Sebelumnya pada UU No. 6 Tahun 2014 menyatakan masa jabatan kepala desa ditetapkan 6 tahun per periode, dengan batas maksimal 3 periode berturut-turut atau tidak berturut-turut. Dan perubahan pada UU No. 3 Tahun 2024 menyatakan masa jabatan kepala desa diperpanjang menjadi 8 tahun per periode, dengan maksimal 2 periode berturut-turut atau tidak berturut-turut. Artinya, kepala desa dapat menjabat maksimal 16 tahun secara total. Alasan Perubahan ini karena Perpanjangan masa jabatan ini bertujuan untuk memberikan stabilitas kepemimpinan desa yang lebih panjang, sehingga pembangunan dapat dilakukan secara lebih konsisten tanpa terganggu oleh pemilihan yang terlalu sering. Alasan utamanya adalah untuk memberikan stabilitas yang lebih besar dalam kepemimpinan desa, sehingga kepala desa memiliki waktu yang lebih panjang untuk melaksanakan program-program pembangunan yang lebih komprehensif dan berkesinambungan. Dalam jangka waktu 6 tahun sebelumnya, kepala desa sering kali menghadapi keterbatasan waktu dalam merealisasikan visi jangka panjang, terutama karena adanya siklus pemilihan yang relatif singkat. Dengan masa jabatan yang diperpanjang, kepala desa dapat lebih fokus pada implementasi program tanpa terganggu oleh seringnya proses pemilihan yang bisa mengalihkan perhatian dari tugas-tugas pembangunan. Selain itu, perpanjangan ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas perencanaan pembangunan desa melalui RPJM Desa yang juga disesuaikan menjadi 8 tahun, sejalan dengan masa jabatan kepala desa​. Perubahan ini memberikan ruang yang lebih besar bagi desa untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang sesuai dengan prioritas dan kebutuhan masyarakat lokal. Namun, perlu diingat bahwa perpanjangan masa jabatan juga membawa sejumlah tantangan, seperti potensi terjadinya sentralisasi kekuasaan dan penurunan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya mekanisme pengawasan yang efektif untuk memastikan bahwa kepala desa tetap akuntabel kepada masyarakat.

Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2024 tentang Desa menjadi tonggak penting dalam sejarah panjang pengaturan desa di Indonesia. Sebagai perubahan kedua atas UU No. 6 Tahun 2014, UU Desa terbaru ini membawa perubahan signifikan yang akan memengaruhi dinamika pemerintahan dan kesejahteraan desa. Wacana yang mulai digulirkan sejak Menteri Desa Abdul Halim Iskandar pada Mei 2022, mengusulkan jabatan kepala desa diperpanjang. Hingga akhirnya pada rapat paripurna DPR pada 28 Maret 2024 menyetujui perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 6 tahun 2014.

Tapi selain pasal 39 ada juga yang lainnya seperti :

  • Alokasi Dana Desa (Pasal 72). Pada UU No. 6 Tahun 2014 menyatakan Alokasi Dana Desa (ADD) berasal dari APBN dengan formula tertentu. Dan pada UU No. 3 Tahun 2024 menyatakan Alokasi Dana Desa diatur paling sedikit 10% dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) yang diterima kabupaten/kota. Ketentuan ini memperkuat keuangan desa​ Alasan Perubahan karena Peningkatan alokasi dana ini bertujuan untuk mendukung pembangunan desa secara lebih berkelanjutan dan efektif. Alokasi dana desa kini ditetapkan minimal 10% dari dana alokasi umum dan dana bagi hasil yang diterima kabupaten/kota. Ini merupakan peningkatan signifikan dari aturan sebelumnya (UU No. 6 Tahun 2014) yang tidak mengatur secara spesifik persentase minimal alokasi dana desa. Peningkatan dana ini diharapkan dapat mempercepat pembangunan infrastruktur, meningkatkan pelayanan publik, dan mendorong pertumbuhan ekonomi di desa. Hal ini sesuai dengan harapan masyarakat desa yang menginginkan adanya dukungan finansial yang lebih besar dari pemerintah pusat. Tantangannya terletak pada pengelolaan dana yang efektif dan akuntabel. Diperlukan peningkatan kapasitas aparatur desa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penggunaan dana desa agar tidak terjadi penyelewengan.
  • Tunjangan Purnatugas untuk Kepala Desa, Perangkat Desa, dan BPD (Pasal 26, 50A, dan 62). Pada UU No. 6 Tahun 2014 menyatakan tunjangan purnatugas hanya diberikan dalam situasi tertentu, seperti perubahan status desa menjadi kelurahan. UU No. 3 Tahun 2024 menyatakan Tunjangan purnatugas diberikan kepada kepala desa 1 kali di akhir masa jabatan sesuai kemampuan keuangan desa. Selain itu, kepala desa dan perangkat desa mendapatkan jaminan sosial di bidang ketenagakerjaan dan kesehatan, termasuk tunjangan kinerja, tunjangan istri/suami, dan tunjangan anak​. Alasan Perubahannya yakni Perubahan ini diharapkan meningkatkan kesejahteraan kepala desa dan perangkat desa, sehingga mereka dapat bekerja lebih baik dalam melayani masyarakat dengan perlindungan sosial yang memadai. UU Desa terbaru ini juga memberikan tunjangan purnatugas satu kali di akhir masa jabatan bagi kepala desa, perangkat desa, dan anggota BPD. Besaran tunjangan ini disesuaikan dengan kemampuan keuangan desa. Hal ini merupakan perubahan dari UU sebelumnya yang tidak mengatur tentang tunjangan purnatugas. Tunjangan ini diharapkan dapat memberikan penghargaan atas pengabdian mereka selama menjabat dan memberikan jaminan finansial setelah mereka purna tugas. Beberapa pihak khawatir bahwa tunjangan ini akan membebani keuangan desa, terutama bagi desa dengan kemampuan keuangan terbatas. Perlu adanya regulasi yang jelas mengenai besaran dan mekanisme pemberian tunjangan ini agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.
  • Perubahan Wewenang Kepala Desa dalam Pengangkatan Perangkat Desa (Pasal 26). Dalam UU No. 3 Tahun 2024 menyatakan kepala desa hanya memiliki wewenang untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa kepada bupati/wali kota. Hal ini berbeda dengan UU No. 6 Tahun 2014 menyatakan memberikan kewenangan penuh kepada kepala desa untuk mengangkat dan memberhentikan perangkat desa. Perubahan ini diharapkan dapat mengurangi potensi konflik kepentingan dan nepotisme dalam pengangkatan perangkat desa. Dengan melibatkan bupati/wali kota dalam proses pengangkatan, diharapkan perangkat desa yang terpilih adalah mereka yang benar-benar kompeten dan memenuhi syarat. Beberapa pihak berpendapat bahwa perubahan ini dapat mengurangi otonomi desa dalam mengelola pemerintahannya sendiri. Selain itu, proses pengangkatan perangkat desa bisa menjadi lebih birokratis dan memakan waktu lebih lama. Keberhasilan implementasi UU ini akan bergantung pada berbagai faktor, termasuk kapasitas dan integritas pemerintah desa, partisipasi aktif masyarakat, serta pengawasan yang efektif dari berbagai pihak terkait. Diharapkan, dengan adanya UU Desa yang lebih baik, desa-desa di Indonesia dapat terus berkembang dan berkontribusi secara signifikan dalam pembangunan nasional.
  • Hak Desa atas Dana Konservasi dan Rehabilitasi (Pasal 5A). Perubahan regulasi dalam UU tentang pemerintahan desa di Indonesia tampak jelas pada Pasal 5A, yang mengalami pembaruan signifikan dari UU No. 6 Tahun 2014 ke UU No. 3 Tahun 2024. Dalam UU No. 6 Tahun 2014, Pasal 5A mengatur tentang tata cara pembentukan dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Pada saat itu, Pasal 5A menyatakan bahwa BUMDes dibentuk untuk meningkatkan ekonomi desa dan memberdayakan masyarakat melalui pengelolaan potensi lokal dan sumber daya desa.  Namun, UU No. 3 Tahun 2024 membawa perubahan penting dalam Pasal 5A dengan memberikan penekanan lebih pada peran strategis dan pengembangan BUMDes. Pasal 5A yang baru menetapkan bahwa BUMDes harus memiliki rencana bisnis yang terintegrasi dan berkelanjutan, serta diwajibkan untuk beroperasi dengan standar akuntansi yang transparan. Selain itu, pasal ini memperkenalkan kewajiban untuk melakukan evaluasi berkala terhadap kinerja BUMDes dan melaporkan hasil evaluasi kepada masyarakat serta pemerintah daerah. Perubahan ini bertujuan untuk memperkuat fungsi BUMDes sebagai pilar utama dalam pengembangan ekonomi desa dan pemberdayaan masyarakat. Dengan penekanan pada perencanaan bisnis yang baik, akuntabilitas yang tinggi, dan transparansi operasional, UU No. 3 Tahun 2024 berusaha memastikan bahwa BUMDes dapat berfungsi secara efektif, berkelanjutan, dan benar-benar memberikan manfaat ekonomi bagi desa. Perubahan ini juga mencerminkan dorongan untuk peningkatan kapasitas dan kualitas pengelolaan BUMDes agar dapat berkontribusi lebih maksimal terhadap pembangunan desa. UU Desa terbaru ini memberikan hak kepada desa-desa yang berada di kawasan konservasi dan rehabilitasi untuk mendapatkan dana khusus. Ini merupakan aturan baru yang tidak ada dalam UU sebelumnya. Dana ini dapat digunakan untuk membiayai kegiatan konservasi dan rehabilitasi lingkungan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan. Ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mendorong pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan. Pengelolaan dana ini harus transparan dan akuntabel untuk menghindari konflik kepentingan dan memastikan manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Selain itu, perlu dipastikan bahwa dana ini tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
  • Pengawasan anggaran dan tata kelola desa  (Pasal 118). Dalam UU Desa No. 6 Tahun 2014 dan UU Desa No. 3 Tahun 2024 mengalami perubahan penting, terutama terkait pengawasan anggaran dan tata kelola desa. Pada UU Desa No. 6 Tahun 2014, Pasal 118 lebih fokus pada tata cara penyusunan laporan pertanggungjawaban keuangan desa yang meliputi pendapatan dan belanja desa yang harus dilaporkan kepada Bupati/Walikota. Namun, pengawasannya belum diatur secara rinci dan ketat. Setelah revisi melalui UU Desa No. 3 Tahun 2024, Pasal 118 diperluas dan diperdalam dengan ketentuan baru terkait transparansi anggaran dan audit yang lebih ketat. Pemerintah daerah kini memiliki peran yang lebih besar dalam memantau dan mengaudit penggunaan dana desa secara berkala. Selain itu, peran masyarakat dalam pengawasan juga ditekankan untuk memastikan bahwa pengelolaan dana desa sesuai dengan rencana pembangunan yang telah disepakati bersama. Alasan utama dari perubahan ini adalah untuk meningkatkan akuntabilitas keuangan desa dan memastikan penggunaan dana desa lebih tepat sasaran. Banyak kasus penyalahgunaan anggaran desa yang mengindikasikan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan sebelumnya. Dengan perubahan ini, pemerintah berharap dapat meningkatkan kualitas tata kelola desa dan mengurangi peluang korupsi serta penyelewengan dana desa.
  • Pada perubahan regulasi pemerintahan desa di Indonesia, khususnya pada (Pasal 121A), terdapat pembaruan signifikan antara UU No. 6 Tahun 2014 dan UU No. 3 Tahun 2024. Dalam UU No. 6 Tahun 2014, Pasal 121A mengatur bahwa pemerintah daerah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan desa dan pengelolaan Dana Desa melalui pemeriksaan administrasi dan evaluasi anggaran, serta mengharuskan pemerintah desa melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan kepada pemerintah daerah dan masyarakat. Namun, dalam UU No. 3 Tahun 2024, Pasal 121A mengalami perubahan yang mencerminkan kebutuhan akan transparansi dan akuntabilitas yang lebih tinggi. Perubahan ini menetapkan bahwa pengawasan dilakukan dengan menggunakan sistem informasi berbasis elektronik, yang mencakup pemeriksaan administrasi, evaluasi anggaran, dan audit keuangan desa. Pemerintah desa diwajibkan untuk mengunggah laporan hasil pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan Dana Desa ke sistem informasi yang dapat diakses publik, sementara pemerintah daerah bertugas melakukan verifikasi dan validasi data melalui sistem tersebut. Perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan transparansi, mempermudah akses informasi bagi masyarakat, dan memperbaiki kualitas pengawasan dengan memanfaatkan teknologi. Dengan sistem informasi elektronik, proses pengawasan menjadi lebih efisien dan akurat, mengurangi potensi penyimpangan, dan memungkinkan masyarakat untuk lebih aktif terlibat dalam pengawasan desa, serta meningkatkan akuntabilitas pengelolaan Dana Desa.
  • Kesimpulannya yakni perubahan regulasi dalam UU Desa No. 3 Tahun 2024 membawa sejumlah pembaruan signifikan dibandingkan dengan UU No. 6 Tahun 2014, yang berfokus pada masa jabatan kepala desa, alokasi dana desa, tunjangan purnatugas, pengangkatan perangkat desa, dan pengawasan anggaran. Salah satu perubahan paling signifikan adalah perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 8 tahun, dengan batas maksimal 2 periode. Langkah ini diambil untuk memberikan stabilitas kepemimpinan yang lebih lama, memungkinkan kepala desa untuk melaksanakan program pembangunan secara lebih konsisten tanpa terganggu oleh pemilihan yang sering. Namun, perpanjangan ini juga menimbulkan tantangan, seperti potensi sentralisasi kekuasaan dan penurunan partisipasi masyarakat, sehingga diperlukan mekanisme pengawasan yang efektif. Selain itu, UU No. 3 Tahun 2024 juga meningkatkan alokasi dana desa menjadi minimal 10% dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) untuk memperkuat keuangan desa. Perubahan ini bertujuan untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan pelayanan publik, meskipun pengelolaan dana yang efektif tetap menjadi tantangan. Tunjangan purnatugas juga diperkenalkan untuk meningkatkan kesejahteraan kepala desa dan perangkat desa, namun harus diatur dengan jelas agar tidak membebani keuangan desa. Perubahan wewenang pengangkatan perangkat desa, yang kini harus melalui bupati/wali kota, diharapkan dapat mengurangi nepotisme dan meningkatkan kompetensi. Di sisi lain, perubahan dalam pengawasan anggaran dan tata kelola desa, seperti penerapan sistem informasi elektronik untuk transparansi dan akuntabilitas, menunjukkan kemajuan dalam memastikan pengelolaan dana desa yang lebih baik. Sarannya agar perubahan regulasi ini dapat berjalan efektif, diperlukan peningkatan kapasitas aparatur desa dan pengawasan yang ketat dari pemerintah daerah serta partisipasi aktif masyarakat. Pemerintah perlu memastikan mekanisme pengawasan yang transparan dan akuntabel untuk mencegah potensi penyimpangan dan sentralisasi kekuasaan. Selain itu, pelatihan dan dukungan teknis bagi desa dalam pengelolaan dana dan penyusunan rencana pembangunan harus diperkuat untuk mencapai hasil yang optimal.

2. Analisis saya terkait dengan 3 artikel yang telah dipaparkan yakni :

Analisis saya :

  • Terkait dengan artikel pertama dengan judul “Dinamika Hukum Pemerintahan Desa” Yang mana isinya mengenai geksplorasi bagaimana regulasi dan praktik pemerintahan desa telah berkembang seiring waktu, dengan fokus pada dampak dari berbagai perubahan hukum dan kebijakan terhadap efektivitas dan keberlanjutan pemerintahan desa.  Si penulis menggarisbawahi bahwa dinamika hukum pemerintahan desa di Indonesia merupakan refleksi dari upaya berkelanjutan untuk meningkatkan kemandirian dan kapasitas desa dalam mengelola sumber daya dan melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan. Artikel ini menyoroti bahwa salah satu perubahan signifikan dalam sistem pemerintahan desa adalah pengesahan Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014, yang memberikan desa otonomi lebih besar dalam pengelolaan anggaran dan perencanaan pembangunan. Perubahan ini bertujuan untuk memperkuat peran serta desa dalam proses pembangunan dan memastikan bahwa kebijakan pembangunan lebih responsif terhadap kebutuhan lokal.  Namun, juga mencatat bahwa implementasi undang-undang ini menghadapi berbagai tantangan, termasuk masalah terkait pengelolaan anggaran, ketidakmerataan manfaat pembangunan, dan kurangnya partisipasi masyarakat. Pengelolaan anggaran yang tidak efektif sering kali disebabkan oleh kurangnya kapasitas dan pemahaman di tingkat desa, sedangkan ketidakmerataan manfaat pembangunan sering kali mencerminkan kesenjangan antara daerah yang maju dan daerah terpencil.  Artikel ini juga mengkritisi peran pemerintah pusat dan daerah dalam mendukung implementasi kebijakan desa. Pengawasan dan dukungan yang lebih kuat diperlukan untuk memastikan bahwa desa dapat mengoptimalkan potensi mereka dan mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi. Selain itu, artikel ini membahas perlunya reformasi dalam mekanisme pelaporan dan akuntabilitas untuk memastikan transparansi dan efektivitas penggunaan anggaran desa.  Secara keseluruhan, artikel ini memberikan wawasan yang berharga mengenai dinamika hukum pemerintahan desa di Indonesia. Dengan mengidentifikasi tantangan-tantangan utama dan menawarkan rekomendasi untuk perbaikan, artikel ini berkontribusi pada pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana hukum dan kebijakan dapat dirancang dan diterapkan untuk mendukung pembangunan desa yang berkelanjutan dan inklusif.
  • Terkait dengan artikel kedua dengan judul “Dinamika Pranata Pemerintahan Desa Adat Dalam Dimensi Hukum Tata Negara” Mengkaji bagaimana desa adat beradaptasi dan berinteraksi dengan kerangka hukum negara yang lebih luas, serta bagaimana hukum tata negara memengaruhi struktur dan fungsi pemerintahan desa adat.  Dalam artikel ini, para penulis mengidentifikasi dinamika yang terjadi ketika desa adat harus menyesuaikan diri dengan regulasi dan kebijakan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Mereka menyoroti pergeseran yang terjadi dalam hubungan antara desa adat dan sistem hukum negara, terutama dalam hal otonomi dan pengakuan hak-hak adat. Penulis mencatat bahwa meskipun ada kemajuan dalam pengakuan hukum terhadap desa adat, sering kali terdapat ketidaksesuaian antara praktik adat dan ketentuan hukum negara yang berlaku, yang mengarah pada konflik dan tantangan implementasi.  Artikel ini juga menggarisbawahi pentingnya pemahaman yang mendalam tentang prinsip-prinsip hukum tata negara dalam konteks pemerintahan desa adat. Penulis berpendapat bahwa untuk mencapai harmoni antara hukum adat dan hukum negara, diperlukan reformasi yang lebih terintegrasi dan sensitif terhadap kebutuhan serta karakteristik unik desa adat. Dalam hal ini, artikel tersebut menganalisis beberapa kasus konkret dan memberikan rekomendasi untuk memperbaiki kebijakan dan praktik hukum yang berkaitan dengan desa adat.  Secara keseluruhan, artikel ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman tentang bagaimana hukum tata negara berinteraksi dengan pranata pemerintahan desa adat di Indonesia. Penulis menawarkan perspektif yang berharga tentang tantangan yang dihadapi desa adat dalam navigasi sistem hukum yang kompleks, serta menyarankan langkah-langkah untuk meningkatkan sinergi antara hukum adat dan hukum negara demi keberlanjutan dan kesejahteraan desa adat.       
  • Terkait dengan artikel ketiga dengan judul “Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa” Membahas implementasi dan dampak dari Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 mengenai desa dalam konteks pemerintahan desa di Indonesia. Undang-Undang ini, yang dikenal dengan nama UU Desa, merupakan tonggak penting dalam reformasi desentralisasi di Indonesia, memberikan desa kekuatan hukum dan otonomi yang lebih besar dalam mengelola urusan mereka sendiri.  Dalam artikelnya, dijelaskan bagaimana UU Desa mengatur berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan desa, mulai dari struktur organisasi pemerintah desa hingga pembagian tugas dan wewenang. Salah satu poin penting yang diuraikan adalah peran kepala desa dan perangkat desa dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan program-program pembangunan di tingkat desa. Undang-undang ini memberikan desa kewenangan yang lebih besar dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan, dengan harapan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan dan mempercepat pembangunan infrastruktur dan layanan dasar.  juga mengkritisi tantangan yang dihadapi dalam implementasi UU Desa, seperti masalah dalam pengelolaan anggaran, kurangnya kapasitas sumber daya manusia, dan keterbatasan dalam partisipasi masyarakat. Artikel ini menyoroti bahwa meskipun UU Desa telah memberikan kerangka hukum yang lebih kuat untuk pemberdayaan desa, penerapannya seringkali terkendala oleh berbagai faktor, termasuk kesiapan administratif dan kemampuan teknis pemerintah desa.  Selain itu, artikel ini menggarisbawahi pentingnya dukungan dari pemerintah pusat dan daerah dalam memberikan pelatihan dan bimbingan kepada pemerintah desa agar UU Desa dapat diimplementasikan secara efektif. Disini ditekankan bahwa untuk mencapai tujuan dari UU Desa, diperlukan adanya sinergi antara berbagai pihak, termasuk masyarakat, pemerintah desa, dan pemerintah pusat.  Secara keseluruhan, artikel ini memberikan wawasan yang mendalam mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa menurut UU Desa, mengevaluasi kemajuan dan tantangan dalam pelaksanaannya, serta memberikan rekomendasi untuk meningkatkan efektivitas implementasi undang-undang tersebut.

Maka Ketiga dapat ditarik intinya ketiga artikel ini membahas perkembangan regulasi dan praktik pemerintahan desa di Indonesia, dengan fokus pada dampak perubahan hukum dan kebijakan terhadap efektivitas dan keberlanjutan pemerintahan desa, serta dinamika hubungan antara hukum negara dan hukum adat. Artikel pertama menyoroti pentingnya UU Desa No. 6 Tahun 2014 yang memberikan otonomi lebih besar kepada desa dalam pengelolaan anggaran dan pembangunan, meskipun masih menghadapi tantangan dalam pengelolaan anggaran, ketidakmerataan pembangunan, dan partisipasi masyarakat. Artikel kedua fokus pada desa adat yang harus beradaptasi dengan kerangka hukum negara, mengidentifikasi tantangan dalam menyelaraskan hukum adat dengan hukum negara. Artikel ketiga menekankan implementasi UU Desa 2014, menguraikan struktur pemerintahan desa, peran kepala desa, serta tantangan dalam pengelolaan anggaran dan kurangnya kapasitas SDM.  Kesimpulan,  Ketiga artikel menunjukkan bahwa meskipun ada kemajuan dalam memberikan otonomi dan kekuatan hukum kepada desa melalui UU Desa, implementasinya masih terkendala oleh sejumlah tantangan. Pengelolaan anggaran yang tidak efektif, kesenjangan pembangunan antara desa maju dan terpencil, serta kurangnya partisipasi masyarakat menjadi masalah utama. Desa adat juga menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan praktik adat dengan hukum negara, sering kali mengakibatkan konflik. UU Desa telah memberikan dasar hukum yang kuat, tetapi penerapannya memerlukan dukungan lebih lanjut, termasuk pelatihan dan peningkatan kapasitas di tingkat desa. Sinergi antara berbagai pihak sangat penting untuk mencapai tujuan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.  Saran,  Peningkatan Kapasitas Pemerintah Desa, Pelatihan intensif bagi perangkat desa diperlukan agar mereka lebih memahami pengelolaan anggaran dan tata kelola pembangunan. Pengawasan dan Dukungan dari Pemerintah Pusat dan Daerah, Pemerintah pusat dan daerah perlu memperkuat mekanisme pengawasan dan dukungan bagi pemerintah desa untuk memastikan implementasi kebijakan yang efektif dan tepat sasaran. Harmonisasi Hukum Adat dan Hukum Negara, Pemerintah perlu merancang kebijakan yang lebih sensitif terhadap karakteristik desa adat dan memastikan harmoni antara hukum adat dan hukum negara untuk mengurangi konflik dan meningkatkan kesejahteraan desa adat. Partisipasi Masyarakat, Upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di desa harus didorong melalui program-program pemberdayaan dan peningkatan kesadaran. Reformasi Mekanisme Akuntabilitas, Perlu ada reformasi dalam mekanisme pelaporan dan akuntabilitas anggaran desa untuk meningkatkan transparansi dan efektivitas penggunaan dana desa.      

 

Sekian yang dapat saya sampaikan

Jika ada kekurangan, saya mohon maaf

Terimakasih pak.