Perkembangan desa di Indonesia menunjukkan perubahan yang signifikan dari masa ke masa, terutama dalam hal otonomi, peran, dan dinamika pemerintahan desa. Jika kita melihat sejarah, perubahan paling terasa dalam perkembangan desa adalah peralihan dari sistem feodal dan tradisional ke sistem yang lebih demokratis dan terstruktur. Pada masa kolonial, desa memiliki peran yang dibatasi dan lebih diarahkan untuk mendukung kepentingan kolonial, di mana kepala desa ditunjuk oleh pemerintah kolonial dan berfungsi sebagai kepanjangan tangan penjajah. Setelah kemerdekaan, khususnya pada masa Orde Baru, pemerintah desa lebih dikontrol dan diarahkan oleh pemerintah pusat, di mana dana dan kebijakan masih banyak diatur di tingkat atas, sehingga otonomi desa terbatas.
Perubahan besar terjadi setelah reformasi tahun 1998, terutama dengan munculnya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU ini memberikan otonomi yang lebih besar kepada desa, termasuk kewenangan untuk mengelola dana desa secara mandiri. Desa kini memiliki anggaran langsung dari pemerintah pusat yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan perekonomian lokal sesuai kebutuhan masyarakat desa.
Terkait kondisi pemerintahan desa saat ini, tanggapan masyarakat bisa beragam. Banyak yang merasa pemerintahan desa telah mengalami kemajuan karena dana desa yang lebih besar dan kebijakan yang lebih mendukung pemberdayaan masyarakat. Namun, masih ada juga tantangan seperti korupsi, ketidakefisienan dalam pengelolaan dana, dan kurangnya transparansi. Beberapa desa berhasil berkembang pesat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sementara desa lainnya masih menghadapi kesulitan dalam manajemen dan penggunaan dana yang efektif. Secara keseluruhan, pemerintahan desa di era sekarang mendapat dukungan lebih kuat dari pusat dan memiliki otonomi lebih luas, tetapi tantangan untuk mewujudkan pemerintahan desa yang benar-benar akuntabel dan efektif masih harus terus diatasi.