Menu Close

Gaya kerja milenial dan tantangan kolaborasi di era disrupsi teknologi

Sejarah telah mencatat kekalahan beberapa pemimpin pasar menghadapi disrupsi teknologi. Jaringan bisnis penyewaan film ternama, Blockbuster, bangkrut dan terpaksa menutup 129 tokonya pada awal 2013 setelah berjibaku melawan pesaing barunya seperti Netflix dan iTunes. Raksasa peritel buku Barnes & Noble juga kewalahan menghadapi persaingan baru dengan toko buku online seperti Amazon.com.

Disrupsi teknologi telah memunculkan kecemasan bagi organisasi bisnis, termasuk ancaman kebangkrutan. Dalam dua dekade terakhir, evolusi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah menghadirkan perubahan fundamental di berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam praktik bisnis modern.

Bagi organisasi bisnis modern, penggunaan TIK dianggap sebagai suatu keniscayaan untuk meningkatkan produktivitas dan menciptakan keunggulan kompetitif–setidaknya untuk membantu perusahaan bertahan dalam kompetisi bisnis di era disrupsi teknologi. Tapi kemajuan ini juga mampu mencabut tatanan, rutinitas, cara bekerja, dan cara berkomunikasi tradisional hingga ke akarnya.

Karena itu, perkembangan ini tak hanya menuntut organisasi bisnis modern beradaptasi, tapi juga mendorong mereka untuk siap bertransformasi.

Teknologi, kolaborasi, dan gaya kerja milenial

Dalam praktik organisasi bisnis modern, TIK dapat dimanfaatkan untuk mendukung berbagai rutinitas, cara kerja, dan komunikasi yang lebih efektif, terutama menunjang kebutuhan kolaborasi di dalam organisasi.

Laptop dan telepon cerdas yang terhubung dengan internet menunjang berbagai aktivitas kolaborasi virtual, misalnya dengan instant messaging, video conferencing, atau fitur lainnya. Hal ini telah memungkinkan para karyawan bekerja dan berkomunikasi dari lokasi yang berbeda–bahkan juga untuk memfasilitasi kolaborasi global.

Kebiasaan berkolaborasi virtual juga lekat dengan gaya kerja generasi milenial yang memang lahir dan tumbuh di era teknologi digital. Mereka memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menggunakan perangkat TIK. Karyawan dari generasi milenial cenderung lebih menyukai lingkungan kerja dengan kultur yang terbuka dan jam kerja fleksibel. Kolaborasi efektif menjadi kunci keberhasilan untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan.

Banyak organisasi bisnis kini berupaya mengembangkan lingkungan kerja yang sesuai dengan karakter generasi milenial. Contohnya, Go-Jek didominasi oleh karyawan dengan rerata usia 27 tahun. Perusahaan ini mengembangkan budaya kerja yang bebas dan fleksibel, tak mengenal istilah jam kantor. Mereka memberi ruang luas bagi karyawannya untuk menyelesaikan setiap pekerjaan dan tanggung jawab mereka.

Tentu praktik seperti ini menuntut adanya budaya kolaborasi yang berjalan efektif dan terjaga dengan baik. Meski gaya kerja milenial kini semakin populer, perlu dicatat pula bahwa tak semua jenis pekerjaan dapat dilakukan dengan jam kerja sesuka hati, misalkan pada tipe perusahaan manufaktur dengan jadwal produksi yang sangat ketat.

Peter Studley di The Sydney Morning Herald, menyoroti dampak disrupsi teknologi terhadap fungsi gedung perkantoran di masa depan, khususnya sebagai ruang kolaborasi untuk peningkatan produktivitas. Ia mengatakan dampak kemajuan TIK untuk berkolaborasi ini dapat mengurangi keterikatan fisik karyawan pada suatu lokasi atau tempat tertentu.

Meski begitu, Studley tetap menekankan pentingnya ketersediaan kantor sebagai ruang kolaborasi untuk mempertemukan para karyawan dalam lingkungan kerja yang produktif melalui perpaduan pemilihan lokasi, rancangan, dan dukungan TIK yang tepat.

Pemanfaatan TIK dalam kolaborasi laiknya dua sisi mata uang yang tidak terpisah. Ketika menyangkut peningkatan produktivitas, maka pemanfaatan TIK adalah bagian dari solusi. Di sisi lainnya, hal ini sekaligus menjadi tantangan yang harus dihadapi dalam upaya mewujudkan kolaborasi yang efektif.

Disrupsi kolaborasi

Pada 2016, Rob Cross, Reb Rebele, dan Adam Grant menulis di Harvard Business Review tentang praktik kolaborasi yang berlebih di dalam organisasi bisnis yang melibatkan banyak kerja tim proyek. Para kolaborator efektif, yaitu mereka yang memiliki pengetahuan, kapabilitas, dan ringan tangan, akan semakin banyak dilibatkan dalam berbagai proyek penting, meski kadang itu di luar pekerjaan mereka sendiri.

Jumlah kolaborasi yang efektif di dalam suatu organisasi biasanya hanya dilakukan oleh sebagian kecil karyawan (3-5%). Artinya, organisasi bisnis pun tak banyak memiliki kolaborator yang efektif. Dengan kata lain, kemampuan kolaborasi yang dimiliki organisasi tidak merata sehingga kolaborasi untuk berbagai pekerjaan yang penting cenderung dibebankan ke orang-orang yang sama.

Beberapa masalah kemudian muncul. Dalam ketimpangan kerja yang berkelanjutan, para kolaborator yang efektif ini bisa saja berubah menjadi hambatan organisasi, apalagi jika mereka memegang peranan yang cukup penting dalam manajemen. Keterlibatan dalam berbagai kerja tim yang berlebihan yang diterima para kolaborator ini kemudian menyisakan sedikit waktu untuk mereka melakukan pekerjaannya sendiri.

Produktivitas mereka secara individu menyelesaikan pekerjaannya jadi rendah karena minimnya waktu dan fokus kerja yang terganggu. Upaya yang diharapkan dapat memenuhi tuntutan kolaborasi yang efektif untuk meningkatkan kinerja organisasi justru menjadi bumerang yang melahirkan tantangan disrupsi kolaborasi.

TIK dapat membantu kolaborasi menjadi lebih efisien dan efektif, asal digunakan secara tepat dan sesuai kebutuhan. Namun kondisi yang kerap muncul, para kolaborator efektif ini justru menghabiskan sebagian besar waktu kerja mereka untuk mengikuti berbagai rapat (yang mungkin juga dilakukan secara virtual), menjawab email, merespon pesan dari berbagai tim kerja melalui instant messaging dan banyak lagi interaksi kerja lainnya. Seluruh kesibukan ini bahkan tak jarang juga terbawa hingga di luar jam kantor.

Steve Price, Kepala HRD Dell Technologies, mengungkapkan hasil riset perusahaan mereka bahwa 60% dari karyawan Dell bekerja sebelum atau sesudah jam kantor. Dari jumlah itu, sekitar dua pertiga karyawan Dell secara global melakukan beberapa urusan pekerjaan dari rumah secara rutin. Rata-rata karyawan menghabiskan setidaknya dua jam per minggu untuk menyelesaikan tugasnya dari berbagai tempat umum.

Strategi hadapi disrupsi kolaborasi

Keunggulan kompetitif suatu organisasi bisnis akan semakin bergantung pada produktivitas tenaga kerjanya. Tingkat produktivitas ini ditentukan salah satunya oleh efektifitas kolaborasi.

Era teknologi digital menghadirkan cara-cara baru untuk berkolaborasi dengan mengadopsi berbagai perangkat TIK. Setidaknya ada tiga strategi yang dapat dipertimbangkan untuk memastikan bahwa disrupsi kolaborasi tak menjadi masalah yang menghambat kinerja organisasi bisnis.

Pertama, mengatur pola distribusi tugas dan mekanisme pengambilan keputusan. Kolaborasi yang berlebihan menjadikan organisasi memiliki ketergantungan dominan kepada para kolaborator efektif yang, sekali lagi, jumlahnya hanya sedikit. Tak jarang kemudian para kolaborator ini dilibatkan dalam berbagai tugas dan proses pengambilan keputusan yang sebenarnya tak selalu membutuhkan peran mereka.

Dalam pendekatan manajemen bisnis, ada programmed dan nonprogrammed decisions. Bentuk keputusan terprogram yang berkaitan dengan tipe permasalahan yang terstruktur dan rutin umumnya dapat ditangani oleh manajemen tingkat bawah. Sedangkan bentuk keputusan yang tidak terprogram berkaitan dengan permasalahan yang kompleks dan tidak terstruktur, memerlukan peran manajemen di tingkat taktis atau bahkan strategis.

Mekanisme pendistribusian tugas dan pengambilan keputusan dapat dan perlu diatur sehingga, dalam konteks kolaborasi, tidak menurunkan produktifitas para kolaborator. Perangkat TIK dan pengembangan sistem informasi dapat digunakan untuk mengatur distribusi tugas dan pengambilan keputusan di dalam organisasi.

Kedua, mengatur jam kerja dengan jadwal yang lebih fleksibel (jika memungkinkan), terutama untuk memberi ruang kolaborasi yang tidak kaku dan tidak harus terpaku hanya di dalam kantor. Hal ini menjadi pertimbangan penting terutama jika organisasi bisnis memiliki beban kerja yang intens dan dominasi karyawan milenial.

Jika tak sepenuhnya bisa dibuat fleksibel, jam kantor juga dapat diatur dengan membuat flextime policy yang dipadukan dengan kebijakan core period, yaitu menentukan jam tertentu pada hari kerja. Misalnya, pukul 9-11 pagi seluruh karyawan wajib berada di kantor, sehingga kebutuhan rapat dan koordinasi langsung dapat dijadwalkan pada kurun waktu tersebut.

Ketiga, memilih teknologi yang tepat dengan penggunaan yang cerdas. Penggunaan TIK menjadi solusi yang penting untuk mendukung kerja kolaborasi sehingga para kolaborator dapat memprioritaskan pekerjaan mereka, apalagi jika organisasi memberlakukan jam kerja yang fleksibel. Kemampuan pengguna untuk memanfaatkan TIK secara cerdas juga menentukan bagaimana kolaborasi virtual yang dijalankan menjadi lebih terarah dan terpadu sehingga mudah untuk diarahkan, dimonitor, dan dievaluasi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now