assalamu'alaikum wr.wb.
Teman-teman mahasiswa yang ebrbahagia, pada sesi ini kita akan belajar bersama tentang Iman kepada Allah swt. semoga kita dapat mengambil hikmah dan meningkatkan keimanan kita kepada Allah swt dan semakin banyak mengerjakan ketaatan kepada Allah swt.
Sebelum dilanjutkan mari kita luruskan niat dan kita awali dengan membaca bismillahirrahmaanirrahiim dari tempat masing-masing.
IMAN KEPADA ALLAH SWT
Menurut Al-Jurjani (wafat pada 816 H) dalam At-Takrifat, secara bahasa, iman adalah membenarkan dengan hati. Sementara menurut syariat, iman adalah meyakini dengan hati dan mengikrarkan dengan lisan.
Dalam Kitab safinah karangan Syekh Nawawi Iman ada 6 perkara, hal ini bersandar pada hadis yang terkenal, yang disebut dengan hadis Jibril. Yaitu, ketika Jibril ‘Alaihis Salaam mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam dalam wujud manusia, untuk bertanya dalam rangka mengajarkan apa itu Islam, iman dan ihsan.
قَالَ : صَدَقْتَ فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ قَالَ : فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِيْمَانِ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
Artinya : “Orang itu berkata, “Engkau benar.” Kami pun heran, ia bertanya lalu membenarkannya. Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Iman.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab: “Engkau beriman kepada Allah, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada para rasul-Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Orang tadi berkata, “Engkau benar.” (HR Muslim, no. 8)
Iman kepada Allah merupakan suatu keyakinan yang sangat mendasar. Tanpa adanya iman kepada Allah SWT, seorang tidak akan beriman kepada yang lain, seperti beriman kepada malaikat dll.
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلى رَسُولِهِ وَالْكِتابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً بَعِيداً (136)
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab Allah yang diturunkan sebelumnya, Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (QS An Nisa: 136)
Iman kepada Allah berarti menyakini bahwa Allah adalah :
1. Allah adalah Tuhan yang menciptakan kita dan alam semesta, yang memelihara dan yang menghancurkannya, karena itu Allah bersifat Tunggal/Esa dalam perbuatannya, Esa dalam penciptaannya artinya Allah tidak mempunyai sekutu atau kawan dalam menciptakan, memelihara dan menghancurkan ciptaannya.
2. Allah adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah, karena tidak sekutu bagi Allah, maka ketika beribadah kepada Allah dilarang untuk bersekutu dengan hal yang lain selain Allah SWT. Misalnya kita beribadah kepada Allah tetapi juga menyembah atau memohon bantuan juga kepada yang gaib, misalnya ke Gunung Kidul ke Ratu Pantai selatan dll. Ketika kita menyekutukan Allah berarti kita telah berbuat musyrik atau syirik dan Allah membenci perbuatan tersebut.
Firman Allah SWT yang artinya: “Hai orang-orang yang telah diberi al-Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur’an), yang membenarkan kitab yang ada pada kamu sebelum Kami mengubah muka(mu), lalu Kami putarkan ke belakang, atau Kami kutuk mereka sebagaimana Kami telah mengutuk orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku. (QS 4:47) dan juga "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Allah mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar". ” (an-Nisaa’: 47-48)
3. Beriman kepada Allah adalah menyakini bahwa Allah Allah memiliki nama-nama dan sifat yang telah ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an dan Rasul-Nya dalam As Sunnah, tanpa tamtsil (menyamakan dengan sifat makhluk), takyif (menanyakan “Bagaimana hakikat sifat Allah?”), ta’thil (meniadakan) dan tanpa ta’wil (mengartikan lain, seperti mengartikan “Tangan” diartikan dengan “Kekuasaan”).
Sifat Allah adalah bersifat “Maha” karena itu, sifat Allah Berbeda dengan Makhluk (Mukholafatullilhawaditsi) dan Allah tidak disifati dengan sifat-sifat makhluk, misalnya Allah tidak memiliki putra dan tidak diputrakan.
Makna Iman Kepada Allah
Iman kepada Allah merupakan asas dan pokok dari keimanan, yakni keyakinan yang pasti bahwa Allah adalah Rabb dan pemilik segala sesuatu, Dialah satu-satunya pencipta, pengatur segala sesuatu, dan Dialah satu-satunya yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Semua sesembahan selain Dia adalah sesembahan yang batil, dan beribadah kepada selain-Nya adalah kebatilan. Allah swt berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj: 62)
Dialah Allah yang disifati dengan sifat yang sempurna dan mulia, tersucikan dari segala kekurangan dan cacat. Ini merupakan perwujudan tauhid yang tiga, yatu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhdi asma’ wa shifat. Keimanan kepada Allah mengandung tiga macam tauhid ini, karena makna iman kepada Allah adalah keyakinan yang pasti tentang keesaan Allah Ta’ala dalam rububiyah, uluhiyah, dan seluruh nama dan sifat-Nya. (Al Irysaad ilaa shahiihil I’tiqaad, Syaikh Sholeh al Fauzan).
Cakupan Iman Kepada Allah
Iman kepada Allah mencakup empat perkara :
- Iman tentang keberadaan (wujud) Allah.
- Iman tentang keesaan Allah dalam rubuiyah
- Iman tentang keesaan Allah dalam uluhiyah
- Iman terhadap asma’ (nama) dan sifat-Nya.
Keimanan yang benar harus mencakup empat hal di atas. Barangsiapa yang tidak beriman kepada salah satu saja maka dia bukan seorang mukmin. (Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin)
Dalil Tentang Keberadaan Allah
Keberadaan Allah adalah sesuatu yang sudah sangat jelas. Hal ini dapat ditunjukkan dengan dalil akal, hissi (inderawi), fitrah, dan dalil syariat.
Dalil akal menunjukkan adanya Allah, karena seluruh makhluk yang ada di alam ini, baik yang sudah ada maupun yang akan datang, sudah tentu ada penciptanya. Tidak mungkin makhluk itu mengadakan dirinya sendiri atau ada begitu saja dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan.
Adapun petunjuk fitrah juga menyatakan keberadaan Allah. Seluruh makhluk telah diciptakan untuk beriman kepada penciptanya tanpa harus diajari sebelumnya. Tidak ada makhluk yang berpaling dari fitrah ini kecuali hatinya termasuki oleh sesuatu yang dapat memalingkannya dari fitrah itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (Islam, ed), lalu orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi” (HR. Bukhari dan Muslim).
Indera yang kita miliki juga bisa menunjukkan tentang keberadaan Allah. Kita semua bisa menyaksikan dikabulkannya permohonan orang-orang yang berdoa dan ditolongnya orang-orang yang kesusahan. Ini menunjukkan secara qath’i (pasti) akan adanya Allah. Demikian pula ayat-ayat (tanda-tanda) para nabi yang dinamakan mukjizat yang disaksikan oleh manusia atau yang mereka dengar merupakan bukti yang nyata akan adanya Dzat yang mengutus mereka, yaitu Allah Ta’ala. Sebab, kemukjizatan-kemukjizatan itu di luar jangkauan manusia pada umumnya, yang memang sengaja diberlakukan oleh Allah Ta’ala untuk mengokohkan dan memenangkan para rasul-Nya.
Sedangkan dari segi syariat juga menyatakan keberadaan Allah. Sebab kitab-kitab samawi seluruhnya menyatakan demikian. Apa saja yang dibawa oleh kitab-kitab samawi, berupa hukum-hukum yang menjamin kemaslahatan makhluk merupakan bukti bahwa hal itu datang dari Rabb yang Maha Bijaksana dan Maha Tahu akan kemaslahatan makhluk-Nya. Berita-berita yang berkenaan dengan alam yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut merupakan bukti bahwa kitab-kitab itu berasal dari Rabb yang Maha Kuasa untuk mencipta apa yang diberitakan itu. (Simak pembahasan lengkap masalah ini pada kitab Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah dan Kitab Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin).
Iman terhadap Rububiyah
Maksudnya adalah beriman bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb yang tidak mempunyai sekutu. Rabb adalah Dzat ayang berwenang mencipta, memiliki, dan memerintah. Tiada yang dapat mencipta selian Allah, tiada yang memiliki kecuali Allah, serta tiada yang berhak memerintahkan kecuali Allah. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلاَلَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy . Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al A’rof: 54).
Tidak ada satupun dari makhluk yang mengingkari rububiyah Allah Ta’ala kecuali karena sombong. Namun sebenarnya ia tidak meyakini apa yang diucapkannya. Sebagaimana terdapat pada diri Fir’aun yang mengatakan kepada kaumnya,
فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ اْلأَعْلَى
“(Seraya) berkata:”Akulah tuhanmu yang paling tinggi”.” (QS. An Nazi’at: 24)
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَآأَيُّهَا الْمَلأُ مَاعَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرِي فَأَوْقِدْ لِي يَاهَامَانُ عَلَى الطِّينِ فَاجْعَل لِّي صَرْحًا لَّعَلِّي أَطَّلِعُ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لأَظُنُّهُ مِنَ الْكَاذِبِينَ
“Dan berkata Fir’aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta”.” (QS. Al Qashash: 38)
Namun sebenarnya yang dia katakan itu bukan berasal dari keyakinan. Allah Ta’ala berfirman,
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَآ أَنفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.” (QS. An Naml: 14).
Bahkan kaum musyrikin yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengakui rububiyah Allah, namun mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. Az Zukhruf:87). (Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin)
Dengan demikian beriman dengan rubiyah saja tidak cukup. Buktinya kaum musyrikin tetap diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka mengakui tentang rububiyah Allah.
Iman Kepada Uluhiyah
Kita wajib beriman terhadap tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Disebut tauhid uluhiyah karena penisbatannya kepada Allah dan disebut tauhid ibadah karena penisbatannya kepada makhluk. Adapun yang dimaksud tauhid uluhiyah adalah pengesaan Allah dalam ibadah karena hanya Allah satu-satunya yang berhak diibadahi. Allah Ta’ala berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ الْبَاطِلُ
” Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan sesungguhnya yang mereka seru selain Alloh, itulah yang batil” (QS. Luqman: 30).
Banyak manusia yang kufur dan ingkar dalam hal tauhid ini. Karena itulah Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab kepada mereka, sebagaimana Allah jelaskan,
وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ
” Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku“.” (QS. Al Anbiya’: 25) (Al Qoulul Mufiid bi Syarhi Kitaabit Tauhiid, Syaikh Muhammad bin Sholih al ’Utsaimin)
Antara Rububiyah dan Uluhiyah
Antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Tauhid rububiyah mengkonsekuensikan tauhid uluhiyah. Maksudnya pengakuan seseorang terhadap tauhid rububiyah mengharuskan pengakuannya terhadap tauhid uluhiyah. Barangsiapa yang telah mengetahui bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakannya dan mengatur segala urusannya, maka ini mengharuskan baginya untuk beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Sedangkan tauhid uluhiyah terkandung di dalamnya tauhid rububiyah. Maksudnya, jika seseorang mengimani tauhid uluhiyah pasti ia mengimani tauhid rububiya. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Bya, pasti ia akan meyakini bahwa Allahlah Tuhannya dan penciptanya. Hal ini sebgaimana perkataan Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam,
قَالَ أَفَرَءَيْتُم مَّاكُنتُمْ تَعْبُدُونَ {75} أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُمُ اْلأَقْدَمُونَ {76} فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِّي إِلاَّرَبَّ الْعَالَمِينَ {77} الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ {78} وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ {79} وَإِذَامَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ {80} وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ {81} وَالَّذِي أَطْمَعُ أَن يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ {82}
“Ibrohim berkata : “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah(75), kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?(76), karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam(77), (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku(78), dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku(79), dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkanku(80), dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali)(81), dan Yang amat aku inginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat(82).” (QS. Asy Syu’aroo’:75-82)
Tauhid rububyah dan uluhiyah terkadang disebutkan bersamaan, maka ketika itu maknanya berbeda. Karena pada asalnya ketika ada dua kalimat yang disebutkan secara bersamaan dengan kata sambung menunjukkan dua hal yang berbeda. Hal ini sebagaimana firman Allah,
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ {1} مَلِكِ النَّاسِ {2} إِلَهِ النَّاسِ {3}
“Katakanlah ;” Aku berlindung kepada Robb (yang memlihara dan menguasai) manusia(1). Raja manusia(2). Sesembahan manusia(3).” (QS. An Naas :1-3). Makna Robb dalam ayat ini adalah Raja yang mengatur manusia. Sedangkan makna Ilaah adalah sesembahan satu-satunya yang berhak untuk disembah.
Terkadang tauhid uluhiyah atau rububiyah disebut sendiri tanpa bergandengan. Maka ketika disebutkan salah satunya, maka sudah mencakup makna yang lainnya. Hal ini sebagaimana ucapan malaikat maut kepada mayit di kubur, “Siapa Rabbmu?” Maka maknanya, “Siapakah penciptamu dan sesembahanmu?” Hal ini juga sebagaimanan firman Allah,
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِم بِغَيْرِ حَقٍّ إِلآَّ أَن يَقُولُوا رَبُّنَا اللهُ {40}
“(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata :”Tuhan kami hanyalah Alloh” (QS. Al Hajj:40)
قُلْ أَغَيْرَ اللهِ أَبْغِي رَبًّا {164}
“Katakanlah:”Apakah aku akan mencari Tuhan selain Alloh” (QS. Al An’am :164)
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا {30}
“Sesungguhnya ornag-orang yang mengaatkan “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka” (QS. Fushshilat :30). Penyebutan rububiyah dalam ayat-ayat di atas mengandung makna uluhiyah. (Lihat Al irsyaad ilaa shohiihili i’tiqood, Syaikh Sholeh al Fauzan)
Iman kepada Asma’ (Nama) dan Sifat Allah
Termasuk pokok keimanan kepada Allah adalah iman terhadap tauhid asma’ wa shifat. Maksudnya adalah pengesaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan asma’ dan shifat yang menjadi milik-Nya. Tauhid ini mencakup dua hal yaitu penetapan dan penafian. Artinya kita harus menetapkan seluruh asma’ dan shifat bagi Allah sebagaimana yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya dan sunnah nabi-Nya, dan tidak menjadikan sesuatu yang semisal dengan Allah dalam asma’ dan shifat-Nya. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ {11}
” Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”(QS. Asy Syuuro: 11) . (Al Qoulul Mufiid bi Syarhi Kitaabit Tauhiid, Syaikh Muhammad bin Sholih al ’Utsaimin).
Cabang Keimanan yang Tertinggi
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “ Iman terdiri dari 70-an atau 60-an cabang. Cabang yang paling tinggi adalah ucapan Laa ilaaha ilallah, sedangkan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah sebagian dari cabang keimanan.” (HR. Muslim). Syaikh Abdurrahman As Sa’di menjelaskan, “Cabang keimanan yang paling tinggi dan merupakan pokok sekaligus asasnya adalah ucapan Laa ilaaha ilallah. Ucapan yang jujur dari hati disertai ilmu dan yakin bahwa tidak ada yang memiliki sifat uluhiyah kecuali Allah semata. Dialah Tuhan yang memelihara seluruh alam dengan keutamaan dan ihsan. Semua butuh kepada-Nya sedangkan ia tidak butuh siapapun, semuanya lemah sedangkan Dia Maha Perkasa. Ucapan ini harus dibarengi ubudiyah (peribadatan) dalam setiap keadaan dan mengikhlaskan agama kepada-Nya. Sesungguhnya seluruh cabang-cabang keimanan adalah cabang dan buah dari asas ini (yakni iman kepada uluhiyah Allah)” (Bahjatu Quluubil Abrar wa Qurrotu ‘Uyuunil Akhyaar, Syaikh Abdurrahman As Sa’di)
Cara Beriman Kepada Allah SWT
Beriman kepada Allah SWT adalah rukun iman pertama yang wajib diimani seorang Muslimin. Tidak mungkin dikatakan sebagai seorang Muslim tanpa beriman kepada Allah SWT. Namun beriman kepada Allah SWT bukan hanya dilafazkan dalam hati saja, melainkan melalui perbuatan nyata. Berikut adalah cara beriman kepada Allah SWT yang wajid dilakukan Muslimin:
1. Percaya tiada Tuhan selain Allah
Cara yang paling utama dalam beriman pada Allah adalah dengan percaya bahwa Allah satu-satunya Tuhan. Tidak ada zat lain yang mampu menandingi Allah SWT. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj: 62).
2. Percaya kekuasaan dan kebesaran Allah
Percaya kekuasaan dan kebesaran Allah dalam menciptakan dan mengatur segala sesuatu merupakan cara beriman selanjutnya. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al A’rof: 54).
3. Percaya pada nama dan sifat Allah
Tidak ada satu pun makhluk yang memiliki sifat seperti Allah. Hanya Allah lah yang memiliki nama dan sifat yang menjadi milikNya. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuuro: 11)
Rasulullah saw bersabda, “Iman terdiri dari 70-an atau 60-an cabang. Cabang yang paling tinggi adalah ucapan Laa ilaaha ilallah, sedangkan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah sebagian dari cabang keimanan.” (HR. Muslim).
4. Percaya bahwa Rasul adalah utusan Allah
Tak hanya sekadar percaya kebesaran Allah tetapi juga percaya bahwa Nabi dan Rasul merupakan utusan Allah. Allah swt berfirman, “Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.” (QS. Al Anbiya’: 25).
5. Menjaga sholat dan ibadah wajib lainnya
Tidak ada bukti keimanan yang lebih kuat dibandingkan dengan menjaga shalat lima waktu serta ibadah wajib lainnya. Allah swt berfirman, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah: 43).
6. Memohon hanya pada Allah
Orang yang beriman hanya meminta pertolongan pada Allah semata. Allah swt berfirman, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 4).
7. Berbakti pada kedua orang tua
Amalan yang juga menjadi cara beriman kepada Allah adalah berbakti kepada kedua orang tua. Ridho orang tua adalah ridho Allah, maka gapailah ridho Allah melalui bakti pada kedua orang tua. “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula)...” (QS. Al-Ahqaf: 15).
Faedah Iman yang Benar
Iman kepada Allah dengan benar akan menghasilkan buah yang agung bagi orang-orang yang beriman, di antaranya:
- Terwujudnya ketauhidan kepada Allah Ta’ala, di mana tidak ada tempat bergantung selain Allah dalam rasa harap dan takut , serta tidak ada yang berhak disembah selain Allah.
- Sempurnanya kecintaan kepada Allah Ta’ala dan pengagungan terhadap-Nya sesuai dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang mulia.
- Terwujudnya peribadahan kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. (Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin)