Golongan muda, yang terdiri dari tokoh-tokoh seperti Sukarni, Chairul Saleh, dan Wikana mereka tidak sabar ingin segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa campur tangan Jepang. Bagi mereka, kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II pada 15 Agustus 1945 adalah saat yang tepat untuk bertindak cepat, karena adanya kekosongan kekuasaan yang bisa dimanfaatkan. Golongan muda percaya bahwa kemerdekaan harus murni lahir dari inisiatif rakyat Indonesia sendiri, tanpa terkesan sebagai pemberian dari pihak asing. Sikap ini mendorong mereka untuk mengambil tindakan drastis, seperti menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Tujuannya adalah memastikan bahwa kedua tokoh ini tidak berada di bawah pengaruh Jepang dan bersedia segera memproklamasikan kemerdekaan.
Di sisi lain, golongan tua, yang diwakili oleh Soekarno, Hatta, dan beberapa anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), cenderung lebih berhati-hati dan strategis. Soekarno dan Hatta berpendapat bahwa langkah menuju kemerdekaan harus dilakukan secara terencana dan mendapatkan legitimasi internasional.
Dinamika politik saat itu menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan pandangan, kedua golongan tersebut saling melengkapi dalam upaya mencapai tujuan bersama. Golongan muda memberikan dorongan dan keberanian untuk bertindak cepat, sementara golongan tua memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil tetap berada dalam koridor yang strategis dan diplomatis. Hasilnya adalah sebuah proklamasi kemerdekaan yang tidak hanya menjadi simbol kebebasan bangsa, tetapi juga menjadi awal dari lahirnya Indonesia sebagai negara merdeka.