Menurut Abrian Duta Firmansyah, Pegawai Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dalam Dampak Pemberian Bantuan Sosial Terhadap Pengentasan Kemiskinan Dan Pengurangan Ketimpangan Di Indonesia, dikatakan bahwa :
Meskipun sering dianggap sebagai alat politik karena berinteraksi langsung dengan masyarakat (Sjahrir, Kis-Katos, dan Schulze, 2013), bansos yang terintegrasi dengan baik dan tepat sasaran telah terbukti mampu mengentaskan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan (Barrientos, 2010; International Labour Organization, 2004; World Bank, 2017). Davoodi, Tiongson, dan Asawanuchit (2003) mengungkapkan bahwa negara dengan belanja pendidikan dan kesehatan yang lebih pro-kemiskinan (pro-poor) cenderung memiliki hasil pendidikan dan kesehatan yang lebih baik, tata kelola yang baik, tingkat pendapatan per kapita yang lebih tinggi, serta akses terhadap informasi yang lebih luas.
Namun demikian, pemberian bansos tidak serta merta mampu mengentaskan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan. Menurut penelitian pada sebuah negara berpenghasilan rendah yang sedang dalam masa transisi (a low-middle income country in transition), bukti bansos dapat mengentaskan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan tidaklah cukup (Habibov dan Fan, 2006). Hal tersebut disebabkan manfaat yang diterima sangatlah kecil dan masyarakat miskin hanya menerima sebagian kecil dari manfaat tersebut, secara desain program bansos tidak bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan, serta skala ekonomi yang sedang dalam masa transisi menyulitkan pemerintah dalam mengidentifikasi masyarakat miskin. Lebih lanjut, Abed dan Gupta (2002), Rajkumar dan Swaroop (2008), serta World Bank (2004) mengungkapkan salah satu faktor keberhasilan belanja pemerintah dalam mencapai hasil yang diharapkan adalah dengan tata kelola yang baik.
Meskipun sering dianggap sebagai alat politik karena berinteraksi langsung dengan masyarakat (Sjahrir, Kis-Katos, dan Schulze, 2013), bansos yang terintegrasi dengan baik dan tepat sasaran telah terbukti mampu mengentaskan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan (Barrientos, 2010; International Labour Organization, 2004; World Bank, 2017). Davoodi, Tiongson, dan Asawanuchit (2003) mengungkapkan bahwa negara dengan belanja pendidikan dan kesehatan yang lebih pro-kemiskinan (pro-poor) cenderung memiliki hasil pendidikan dan kesehatan yang lebih baik, tata kelola yang baik, tingkat pendapatan per kapita yang lebih tinggi, serta akses terhadap informasi yang lebih luas.
Namun demikian, pemberian bansos tidak serta merta mampu mengentaskan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan. Menurut penelitian pada sebuah negara berpenghasilan rendah yang sedang dalam masa transisi (a low-middle income country in transition), bukti bansos dapat mengentaskan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan tidaklah cukup (Habibov dan Fan, 2006). Hal tersebut disebabkan manfaat yang diterima sangatlah kecil dan masyarakat miskin hanya menerima sebagian kecil dari manfaat tersebut, secara desain program bansos tidak bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan, serta skala ekonomi yang sedang dalam masa transisi menyulitkan pemerintah dalam mengidentifikasi masyarakat miskin. Lebih lanjut, Abed dan Gupta (2002), Rajkumar dan Swaroop (2008), serta World Bank (2004) mengungkapkan salah satu faktor keberhasilan belanja pemerintah dalam mencapai hasil yang diharapkan adalah dengan tata kelola yang baik.