Deskripsi Materi Pertemuan 6

SI Afdeling B

SI afdeling B muncul pasca kongres SI di Tasikmalaya Jawa Barat yang dipimpin oleh presiden Central Sarikat Islam yakni H.O.S. Cokroaminoto. SI Afdeling B yang dipimpin oleh  Haji Ismail merupakan gerakan rahasia untuk melakukan perang suci melawan pemerintah kolonial. SI afdeling B ideoliginya lebih radikal dan lebih progresif dibanding Sarikat Islam, dengan menekankan perjuangan kelas dan perubahan secara mendasar dan cepat atau revolusioner. SI afdeling B mendapat pengaruh komunis di Priangan Jawa Barat yang mulai melakukan aksinya bulan April 1918. SI afdeling B mendapatkan izin dari SI pusat bulan Januari 1919 untuk mensosialisasikan SI ke daerah Priangan.  SI afdeling B menjadi penampung aspirasi dan kepercayaan masyarakat lokal memiliki tujuan menjalankan agama Islam secara murni dengan prinsif ” billahi fisabili haq”, akan memerangi setiap orang yang menghalangi agama Islam. Gerakan ini lahir sebagai gerakan radikal yang tidak diketahui oleh SI Tasikmalaya maupun yang ada di daerah Priangan. Dengan mengemban misi ”perang suci” membuat gerakan ini sangat tertutup dan rahasia  untuk melindungi misi mereka.

Hingga pecahnya peristiwa Cimarame dibawah pimpinan Haji. Hasan tahun 1919, Afdeling B masih sebagai gerakan rahasia. Permusuhan dilakukan terhadap pejabat pribumi, Eropa dan orang Cina. Untuk memperkuat organisasinya mereka memberikan jimat dan meminta anggotanya untuk bersumpah. Komunikasi dengan anggota dilakukan dengan menggunakan sandi dan tanda-tanda rahasia. Anggota Afdeling B menyebar sampai ke Ciamis, Jakarta, Tasikmalaya, Garut dan Sukabumi.

Kesan yang kuat antara peristiwa Cimareme dengan Afdeling B dibawah pimpinan H. Hasan karena pada saat terjadinya peristiwa, banyak anggota Afdeling B yang berasal dari kota lain datang di Cimarame, dengan bersenjatakan golok mereka memberikan bantuan kepada H. Hasan. Oleh pemerintah kolonial, bantuan ini dipandang sebagai usaha gerakan politik yang lebih luas yakni pembrontakan Afdeling B. Dari sisi islam, gerakan itu dapat dipandang sebagai solidaritas umat islam yang sedang menghadapi tekanan pemerintah kolonial.

Sosrokardono yang menjadi sekretaris SI pusat, oleh pemerintah kolonial dituduh terlibat dalam gerakan Afdeling B karena pernah hadir dalam rapat-rapat yang dilaksanakan oleh Afdeling B. Ia dimejahijaukan dan diponis empat tahun, sedangkan ketua SI yakni H.O.S. Cokroaminoto ditahan dengan tuduhan memberikan keterangan palsu.

Partai Komunis Indonesia (PKI)

Paham marxis sudah masuk ke Indonesia sebelum perang duania ke dua, yakni dengan datangnya sorang pemimpin buruh (Partai Buruh Sosial demokrat) negeri Belanda, H.J.F.M. Sneevliet.  Setiba di Indonesia ia bekerja sebagi staf redaksi surat kabar Soerabajaasch Handelsblad, kemudian tahun 1913 pindah ke Semarang dan menjadi sekretaris Semarangse Handelsvereniging. Bagi Sneevliet semarang adalah keberuntungan mengingat di Semarang pusat Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel (VSTP), serikat buruh tertua dan sudah terorganisir dengan baik.

Dengan pengalamannya Sneevliet dengan cepat bisa membawa VSTV menjadi lebih radikal. Bersama dengan teman sosialisnya seperti J.A. Bransteder, H.W. Dekker dan P. Bersma berhasil mendirikan Indische Sociaal-Demokratische Vereniging (ISDV). Tahun 1915 ISDV menerbitkan majalah Het Vrije Woord dengan Sneevliet, Bergsma  dan Adolf Baar sebagai dewan redaksi. Sneevliet merasi ISDV tidak memiliki akar yang kuat di masyarakat sehingga tidak bisa berkembang dengan baik. Ia memutuskan untuk besinergi dengan gerakan yang lebih besar untuk dijadikan batu loncatan kepada massa rakyat. Awalnya ia bergabung dengan Insulinde  yang mempunyai anggota sekitar 6.000 orang. Karena kurang memuaskan kerjasama itu bubar setelah berlangsung selama setahun. Sasaran dialihkan ke SI yang sudah menjadi organisasi besar yang tahun 1916 sudah memiliki massa ratusan ribu orang. Dengan taktik infiltrasi yang dikenal dengan ”blok di dalam” ISDV berhasil menyusup ke SI, dengan cara anggota ISDV dijadikan anggota SI dan juga sebaliknya anggota SI dijadikan anggota ISDV. Selang setahun Sneevliet sudah memiliki pengaruh yang kuat di SI. Ia memanfaatkan kondisi masyarakat yang buruk akibat PD I, panen yang gagal dan ketidakpuasan buruh terhadap upah yang rendah.

PKI merasakan dirinya sudah menjadi partai besar dan merencanakan sebuah aksi besar yang dikenal dengan Pembrontakan 1926. Pembrontakan ini direncanakan oleh Sardjono, Budi Soetjitro, Sugono dan yang lainnya. Dalam persiapannya hanya sejumlah cabang yang setuju sedangkan yang lain merasa saat itu PKI belum mampu mengadakan pemrontakan. Salah satunya adalah tan Malaka wakil komintern di Asia Timur. Tan Malaka berpendapat bahwa pembrontakan itu tidak akan berhasil karena massa belum siap.

Akhirnya 13 Nopember 1926 pembrontakan itu pecah  di Jakarta disusul dengan kekerasan-kekerasan terjadi di Jawa Barat, jawa tengah dan Jawa Timur. Dalam waktu satu hari pembrontakan di Jakarta berhasil dipadamkan dan dalam waktu satu minggu pembrontakan di seluruh Jawa berhasil dipadamkan. Di Sumatra Barat pembrontakan baru meletus tanggal 1 Januari 1927 dan dalam waktu tiga hari sudah berhasil dipadamkan oleh pemerintah kolonial. Banyak pemimpin PKI ditangkap dan dibuang ke tanah Merah,  Digul Atas, Irian Jaya. Banyak pengikutnya menjadi korban pemerintah.

Dampak pembrontakan PKI 1926 pergerakan nasional mengalami penindasan yang luar biasa hingga tidak bisa bergerak di tahun-tahun berikutnya. Hampir sepuluh tahun kemudian Komintern mengirim seorang tokoh PKI ke Hindia Belanda yakni Musso yang bulan April 1935 mendarat di Surabaya. Dengan dukungan Djoko Soedjono, Pamudji dan Achmad Sumadi mendirikan organisasi yang diberi nama ”PKI-ilegal”. Muso dikirim untuk menjalankan kebijakan komintern yang dikenal dengan ”Doktrin Dimitrov” (George Dimitrov adalah sekjen Komintern 1935-1943). Doktrin Dimitrov menyatakan bahwa Komunis harus bekerjasama dengan kekuatan manapun termasuk kaum imperialis asal saja menghadapi kaum fasis.

Muhammadiyah

SI menjadikan agama Islam sebagai simbol persatuan bukan semata-mata gerakan agama. Berbeda dengan Muhammadiyah yang didirikan 18 Nopember 1912  oleh K.H. Akhmad Dahlan di Yogyakarta bertumpu pada cita-cita agama. Mengusung aliran modernis  Islam Muhammadiyah ingin memperbaiki agama dan umat Islam di Indonesia. Muhammadiyah melihat, agama Islam sudah tidak utuh lagi dan murni karena pemeluknya terkungkung oleh kebiasaan yang menyimpang dari ajaran Islam dengan Al Qurannya. Kondisi seperti ini tidak menimbulkan simpatai masyarakat lebih-lebih generasi muda yang berpendidikan barat. Bahkan sebaliknya ada yang menganggap umat Islam sebagai penghambat kemajuan bangsa. Karena itu ajarn Islam harus dibersihkan dari campuran yang bukan Islam.

Dorongan dari luar yang melahirkan organisasi modernis itu adalah adanya politik kolonial yang memginginkan agama Islam tidak murni dan utuh karena akan membahayakan pemerintah kolonial. Berbeda dengan Budi Utomo yang menekankan perjuangan sosio kultural, Muhamadiyah memperjuangkan sosio religius mengingat kehidupan masyarakat sangat terkebelakang sehingga harus diadakan perbaikan dalam bidang pendidikan, keagamaan dan kemasyarakatan. Dalam bidang pendidikan dilakukan dengan cara baru dan lebih nyata. Masyarakat terdidik memudahkan untuk memberikan pemahaman tentang keislaman.

Perbaikan dibidang pendidikan mencakup perbaikan dan pembentukan manusia muslim yang alim, berbudi dan luas pengetahuannya  serta paham ilmu kediniawian dan kemasyarakatan. Sistem pendidikan yang dibangun adalah dengan menggabungkan cara modern dan cara tradisional, model sekolah barat ditambah dengan pelajaran agama yang dilakukan secara kelas sehingga lebih banyak mendapatkan hasil dalam proses belajar mengajar.

Bidang kemasyarakatan yang ditempuh adalah dengan mendirikan rumah sakit-rumah sakit, poliklinik, rumah yatim piatu yang dikelola oleh lembaga-lembaga. Usaha dibidang sosial ini ditandai dengan berdirinya Pertolongan Kesengsaraan Umum (PKU) tahun 1923 dan ini merupakan bentuk kepedulian sosial dan tolong menolong sesama muslim.

Nahdatul Ulama (NU).

Sejak awal perkembangannya, pusat-pusat penyebaran Islam ada di kota maupun di desa. Dari sini kemudian meluas ke daerah-daerah lainnya. Mereka yang awalnya menjadi santri, setelah taman kemudian mendirikan pesantren-pesantren baru di tempat asalnya atau daerah lainnya. Dengan cara ini penyebaran islam terus meluas. Pada umumnya pesantren-pesantren yang ada di desa menjadi pusat penyebaran islam tertua sebelum datangnya pengaruh barat. Pusat-pusat penyebaran agama Islam yang ada di kota kemudian menjadi pusat pembaharuan Islam. Bisa dikatakan bahwa pusat penyebaran agama Islam yang ada di desa dan pengikutnya adalah para ulama dan para santri tradisional dan yang tinggal di perkotaan adalah pengikut yang modernis.

Makin meluasnya gerakan modernis Islam di kota seperti yang dilakukan oleh SI dan Muhammadiyah maka hal ini dianggap mengurangi ruang gerak umat Islam yang ada di pedesaan. Untuk itu dianggap perlu adanya wadah yang menampung dan mengikat anggotanya untuk mencapai tujuan tertentu. Kebetulan pada saat itu akan diadakan kongres umat Islam sedunia di Hijaz tahun 1926. Untuk bisa mengikuti kongres itu harus dikirim suatu delegasi oleh lembaga sehingga lahirlah lembaga Hijaz. Para ulama membahas nama lembaga itu dan diberi nama Jamiyatul Nahdatul Ulama tanggal 31 januari 1926 di Surabaya. Delegasi Komite Hijaz mewakili lembaga NU. Jadi delegasi sudah sah karena dikirim oleh sebiah lembaga Islam.

NU adalah lembaga sosial keagamaan atau jamiyah diniyah Islamiyah yang didirikan oleh para ulama pemegang teguh salah satu dari empat mashab berhaluan Ahlusunnah wal jamaah yang bertujuan untuk mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dengan tetap memperhatikan masalah sosial, ekonomi dan sebagainya dalam rangka pengabdian kepada umat manusia.

Pada dasarnya NU tidak masuk dalam ranah politik, dan dalam kongresnya bulan Oktober 1928 di Surabaya diambil keputusan untuk menentang reformasi kaum modernis dan perubahan-perubahan yang dilakukan Wahabi di Hijaz. Dalam beberapa hal kaum reformis bersikap seperti kaum nasionalis yang tidak mengkaitkan agama misalnya tentang masalah perkwinan, keluarga, kedudukan wanita maupun yang lainnya. Pusat-pusat NU di Surabaya, Kediri, Bojonegoro, Bondowoso, Kudus dan sekitarnya dan pada tahun 1935 terdapat 68 cabang dengan anggota 6.700 orang.

Dalam kongres NU di Menes, banten tahun 1938 NU berusaha memperluas pengaruhnya ke seluruh Jawa. Dalam kongres tahun 1940 di Surabaya diputuskan berdirinya bagian wanita NU Muslimat dan bagian pemuda Ansor. Ansor didirikan berdasarkan agama Islam sehingga berhaluan internasional.

Selama sepuluh tahun setelah berdirinya NU menunjukan kegiatan sendiri terutama dalam menghadapi desakan Wahabiyang menganggap akan merapuhkan faham Ahlusunnah waljamaah. Namun karena terdesak oleh kebutuhan untuk persatuan umat islam maka tahun 1937 NU bergabung dalam MIAI. Ini bisa dipahami karena kerjasama kolektif akan lebih menguntungkan dalam menghadapi tantangan dari luar khususnya ancaman Jepang yang muali bergerak ke selatan. Nu atau kebangkitan Ulama ternyata bukan saja gabungan ulama ortodok tetapi juga ulama modern.

Organisasi Wanita

Lahirnya organisasi wanita tak lepas dari cita-cita R.A kartini yang memperjuangkan kesetaraan wanita dengan laki-laki. Yang menjadi tujuan utama mereka adalah perbaikan hidup keluarga, perkawinan dan meningkatkan ketrampilan sebagai seorang ibu. Tahun 1912 atas prakarsa Budi Utomo berdirilah Putri Merdika di jakarta dengan cita-cita memajukan pendidikan perempuan. Organisasi Keutamaan istri berdiri di berbagai tempat seperti di Tasikmalaya tahun 1913, Sumedang dan Cianjur tahun 1916, Ciamis tahun 1917, dan Cicurug tahun 1918. Latihan untuk meningkatkan kemampuan wanita khususnya kecakapan rumah tangga dikelola oleh perkumpulan Pawiyatan Wanito di Magelang tahun 1915. Organisasi ini juga bertujuan mempererat persaudaraan kaum ibu.

Sesudah tahun 1920, organisasi wanita semakin luas orientasinya terutama dalam menjangkau masyarakat bawah dan tujuan politik dilakukan bersama-sama organisasi sosial dan politik yang ada. Jumlah organisasi wanita semakin bertambah karena setiap organisasi politik memiliki organisasi wanita seperti wanudyo Utomo bagian dari SI, kemudian menjadi Sarekat Perempuan Islam Indonesia.

Bagian wanita Muhammadiyah  adalah Aisiyah yang tidak mencampuri politik, dalam pologami organisasi ini menolaknya. Tahun 1929 organisasi ini  beranggotakan lima ribu orang dari 47 cabang dan mempunyai 32 sekolah putri. Ina Tani bagian dari sarekat Ambon membantu masyarakat Ambon khususnya kalangan anggota meliter Ambon yang berhaluan politik. Di Yogyakarta tempat wanita terpelajar yang bukan hanya belajar berkait kepandaian wanita tetapi mempunyai tujuan tertentu diantaranya wanita Utomo, Wanita Mulyo, Wanita Katolik, dan berdiri Putri Budi Sejati di Surabaya. Semua organisasi wanita itu berdiri sekitar tahun 1920.

Ada juga organisasi pemudi pelajar seperti Putri Indonesia, JIB Dames Afdeling, Jong Java bagian gadis-gadis, organisasi Wanita Taman Siswa dan lain-lain. Dari berbagai organisasi wanita tersebut, paham kebangsan juga diterima. Untuk mendukung persatuan Indonesia maka diadakan kongres perempuan Indonesia di Yogyakarta 22-25 Desember 1928 yang bertujuan mempersatukan cita-cita dan memajukan wanita Indonesia serta membuat gabungan organisasi wanita. Dalam kongres yang diwakili oleh Wanita Utomo, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Wanito Mulyo, Aisiyah dan SI bagian wanita diputuskan untuk membentuk organisasi wanita yang diberi nama Perikatan Perempuan Indonesia (PPI).

Setahun kemudian tanggal 28-31 Desember 1929, PPI menggelar kongres di Jakarta dengan bahasan utama yakni kedudukan wanita dan anti poligami. Nama organisasi ini dirubah menjadi Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) merupakan federasi yang bertujuan memperbaiki nasib dan derajat wanita Indonesia.  Tahun 1930 atas anjuran PNI  di Bandung didirikan organisasi wanita berdasarkan kebangsan dengan nama Istri Sadar (IS) yang mengkhususkan tenaganya dibidang ekonomi dan kemajuan wanita. Organisasi ini netral terhadap agama dan menjangkau lapisan bawah. Dalam kongres 4 – 7 Juni 1931 organisasi ini menyuarakan anti kolonial sehingga mendapat perhatian dari pemerintah.

Salah satu hasil kongres wanita tanggal 13-18 Desember 1930 diputuskan bahwa pergerakan wanita Indonesia adalah bagian dari pergerakan bangsa Indonesia. Selanjutnya kongres Perempuan Indonesia (KPI) ketiga diadakan di Bandunf bulan Juli 1938 dan ditetapkan tanggal 22 Desember sebagai ”hari Ibu”. Peringatan setiap tahun Hari Ibu diharapkan dapat mendorong akan kewajiban wanita Indonesia sebagai Ibu Bangsa.

Last modified: Wednesday, 11 September 2024, 8:30 PM