Presiden Jokowi telah memasang target jumlah warga sangat miskin di Indonesia harus menyentuh angka 0% pada 2024. Dan, pemerintah berhasil menurunkan angka kemiskinan menjadi satu digit pada Maret 2018. Namun sayangnya, akibat pandemi Covid-19, capaian fantastis itu tidak mampu bertahan lama. Data rilis Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa angka kemiskinan setelah pandemi kembali menyentuh dua digit di angka 10,14. Sebenarnya angka kemiskinan itu bisa saja lebih tinggi jika pemerintah tidak tanggap mengambil kebijakan yang tepat untuk menahan dampak sosial akibat pandemi. Salah satunya melalui program perlindungan sosial yang menjadi upaya paling krusial untuk menangani dampak pandemi setelah kesehatan.
Melalui program Penanganan Pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN), pemerintah telah mengalokasikan anggaran perlindungan sosial sebesar Rp 495 triliun pada 2020. Namun demikian, penyaluran bantuan sosial (bansos) acap dianggap tidak tepat sasaran hingga pelaku koruptif para pengelolanya. Padahal program bansos bukanlah sebuah hal baru. Bansos telah dikenal sejak pemerintahan Orde Baru dan terus disempurnakan dari waktu ke waktu dengan penambahan alokasi anggaran dan cakupan yang makin meluas. Penyelewengan-penyelewengan yang terjadi ini tentu saja menyebabkan dampak sosial dari penyaluran bansos tidak akan sebesar yang diharapkan. Selain permasalahan kualitas data penerima, salah satu penyebabnya adalah skema penyaluran bantuan yang masih bersifat konvensional. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.05/2015 tentang Belanja Bantuan Sosial pada Kementerian/Lembaga, sistem pencairan bansos dilaksanakan dengan 3 model yaitu dari Kas Negara masing-masing langsung ke rekening penerima bansos, ke rekening lembaga non pemerintah, dan ke rekening Bank/Pos Penyalur.
Dari sistem pembayaran tersebut, saya melihat celah permasalahan; pertama, potensi retur yang sangat besar terjadi akibat kesalahan data penerima sebagaimana sering terjadi pada pembayaran bansos secara massal oleh KPPN. Kedua, penarikan uang bansos dengan ATM oleh pihak yang tidak berhak (oknum pendamping). Ketiga, penerima bansos tidak dapat menerima uang sebesar nilai bantuan karena adanya saldo minimal rekening.
Keempat, potensi adanya pungutan liar oleh oknum koruptif. Kelima, panjangnya birokrasi pertanggungjawaban penyaluran bansos, termasuk lemahnya kontrol pertanggungjawaban atas uang yang gagal salur.