3.4 Ketergantungan Impor

Pada prinsipnya, impor suatu produk terjadi karena tiga alasan.

Pertama, produksi dalam negeri terbatas, sedangkan permintaan domestik tinggi (kelebihan permintaan di pasar domestik). Jadi impor hanya sebagai pelengkap.

Kedua, impor lebih murah dibandingkan dengan harga dari produk sendiri, yang dikarenakan berbagai factor, seperti ekonomi biaya tinggi atau tingkat efisiensi yang rendah dalam produksi dalam negeri, atau kualitas produk impor lebih baik dengan harga yang relatif sama.

Ketiga, dilihat dari sisi neraca perdagangan (atau neraca pembayaran), impor lebih menguntungkan karena produksi dalam negeri bisa untuk ekspor dengan asumís harga ekspor di pasar luar negeri lebih tinggi daripada harga impor yang harus dibayar. Ini berlaku bagi produk diferensiasi seperti dalam kasus persaingan monopolistik. Misalnya, Indonesia lebih membutuhkan beras jenis, sebut saja, beras X, sementara produksi beras Indonesia kebanyakan dari jenis Y yang banyak dibutuhkan di luar negeri.


Ketergantungan Indonesia pada impor beras selama ini rasanya lebih dikarenakan produksi dalam negeri yang terbatas, atau yang jelas bukan karena motivasi keuntungan dalam perdagangan luar negeri.


Dalam hal beras, walaupun masalah impor beras di dalam negeri rame dibicarakan baru sejak terjadinya krisis ekonomi 1997/98, namun sebenarnya ketergantungan Indonesia terhadap impor beras sudah sejak era Orde Baru; bahkan jauh sebelum era tersebut. Berdasarkan analisanya terhadap data FAO (FAO STAT), Dawe (2008) menunjukkan bahwa memang Indonesia sudah menjadi negara pengimpor beras paling tidak dalam 100 tahun terakhir, dengan pangsa impor beras dalam konsumsi domestik rata-rata 5% dalam seabad yang lalu dan 4% dalam 15 tahun terakhir. Hanya pada tahun-tahun tertentu, Indonesia tidak mengimpor beras.


Kenyataan yang sering terjadi adalah, di satu sisi, pada tingkat nasional Indonesia swasembada beras atau tidak ada masalah dengan kecukupan beras, namun, di sisi lain, tidak semua propinsi/pulau di dalam negeri mengalami kecukupan beras. Hal ini berarti masalah pangan tidak hanya dipandang dari segi kecukupannya, tetapi juga dari sisi distribusi.


Selain beras, Indonesia juga banyak impor jagung, kebutuhan jagung di dalam negeri untuk pangan dan pakan ternak terus meningkat setiap tahun. Kedelai juga masih impor. Hanya yang sering dipertanyakan adalah kenapa impor sering dilakukan pada saat panen raya di dalam negeri. Alasan pemerintah tetap melakukannya adalah memanfaatkan isu kekeringan, persiapan lebaran, dan kenaikan harga GKP di lapangan yang katanya waktu itu sudah di atas harga psikologis.


Pada tahun 1984 Indonesia mencapai swasembada dalam produksi beras, sedangkan di tahun-tahun lainnya tingkat produksinya berada di bawah garis swasembada, yang artinya produksi beras nasional tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri sehingga terpaksa impor beras.


Selama dekade 90an, produksi beras nasional setiap tahunnya selalu lebih besar daripada konsumsi dalam negeri, walaupun pada tahun-tahun tertentu produksi mengalami penurunan, seperti misalnya tahun 1991 dan tahun 1994, dan juga tahun 1997 produksi merosot sebesar 3,4% akibat musim kering yang sangat panjang (El Nino) ditambah dengan efek dari krisis ekonomi yang mulai nampak nyata menjelang akhir tahun itu. Pada tahun-tahun krisis ekonomi (1998-1999), Indonesia mengalami krisis beras yang serius.

Last modified: Thursday, 30 July 2020, 11:00 AM