Pengantar Hukum Islam

Pengertian Hukum Islam

Dalam mempelajari pengertian hukum islam, ada istilah-istilah penting yang dapat digunakan yaitu: syariah, fiqih, dan hukum Islam itu sendiri.

Penggunaan ketiga istilah tersebut terkadang saling keliru karena adanya pemahaman yang tidak tepat.

Oleh karena itu, harus terlebih dulu dijelaskan makna atau pengertian dari masing-masing istilah tersebut dan keterkaitannya. Terutama hubungan antara syariah dan fiqih.

1. Syariah

Kata syariah berasal dari “al-syari’ah” yang mempunyai arti “jalan ke sumber air” atau jalan yang perlu diikuti, yaitu jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan (Al-Fairuzabadiy, 1995: 659).

Kata syariah disamakan dengan jalan air mengingat bahwa barang siapa yang mengikuti syariah, ia akan mengalir dan bersih jiwanya (Amir Syarifuddin, 1999, I: 1).

Menurut istilah, syariah dapat diartikan sebagai aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah agar dilaksanakan oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhannya, dengan saudaranya sesama Muslim, dengan saudaranya sesama manusia, dengan alam, dan dalam kaitannya dengan kehidupannya (Syaltut, 1966: 12).

Selain itu Syariah juga dapat diartikan segala peraturan agama yang ditetapkan oleh Allah untuk kaum Muslim baik yang ditetapkan dengan Alquran maupun dengan Sunnah Rasul (Musa, 1988: 31).

Intinya kata dari “syariah” dapat dipahami bahwa aturan-aturan Allah SWT dan Rasulullah SAW yang mengatur manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya maupun dengan sesamanya.

 2. Fiqih

Kata fiqih berasal dari kata “al-fiqh” yang artinya pemahaman atau pengetahuan tentang sesuatu (Al-Fairuzabadiy, 1995: 1126).

Menurut istilah fiqih mempunyai arti yaitu ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang digali dari dalil-dalil yang terperinci (Khallaf, 1978: 11; Zahrah, 1958: 6).

Dari pengertian ini dapat diambil kesimpulan bahwa:

“Fiqih merupakan suatu ilmu yang membahas hukum-hukum syara’ terutama yang bersifat amaliyah dengan mendasarkan pada dalil-dalil yang terperinci dari Alquran dan hadis.”

Dengan demikian, pengertian fiqih berbeda dengan syariah baik menurut etimologis maupun istilah.

Syariah merupakan seperangkat aturan yang bersumber dari Allah SWT dan Rasulullah SAW untuk mengatur tingkah laku manusia baik dalam berhubungan dengan Tuhannya (ibadah) maupun dalam rangka berhubungan dengan sesamanya (muamalah).

 Sedangkan fiqih merupakan penjelasan atau uraian yang lebih rinci dari apa yang sudah ditetapkan oleh syariah.

 3. Hukum Islam

Pengertian hukum islam bisa dipahami berdasarkan dua istilah atau kata dasar yang membangunnya yaitu kata ‘hukum’ dan ‘Islam’. Hukum dapat diartikan dengan peraturan dan undang-undang (Tim Penyusun, 2001: 410).

Hukum dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa (Ali, 1996: 38).

Kata kedua yaitu ‘Islam’, mengandung arti sebagai agama Allah yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad Saw. Agar dapat melaksanakan dasar-dasar dan syariatnya dan juga mendakwahkannya kepada semua manusia serta mengajak mereka untuk memeluknya. Dengan pengertian yang sederhana, Islam berarti agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. untuk disampaikan kepada umat manusia agar mencapai kesuksesan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Dari dua kata ‘hukum’ dan ‘Islam’ tersebut muncul istilah hukum Islam. Kalimat singkatnya yaitu, pengertian hukum islam, atau di artikan sebagai hukum yang bersumber dari ajaran Islam.

Dari pengertian diatas sebelumnya dapat disimpulkan bahwa kata hukum Islam yang sering ditemukan pada literatur hukum yang berbahasa Indonesia secara umum mencakup syariah dan fiqih, bahkan terkadang juga mencakup ushul fiqih (dasar-dasar fiqih).

Tetapi, harus dipahami juga bahwa hukum Islam itu tidak sama persis dengan syariah dan sekaligus tidak sama persis dengan fiqih.

Dan juga tidak berarti bahwa hukum Islam itu berbeda sama sekali dengan syariah dan fiqih.

Tepatnya adalah pengertian hukum Islam itu mencakup pengertian syariah dan fiqih. Karena hukum Islam yang dipahami di Indonesia ini terkadang dalam bentuk syariah dan terkadang dalam bentuk fiqih.

Maka jika ada seseorang mengatakan hukum Islam, harus dicari dulu kepastian maksudnya, apakah yang berbentuk syariah ataukah yang berbentuk fiqih.

 Karena inilah yang tidak dipahami oleh sebagian besar bangsa Indonesia, termasuk sebagian besar kaum Muslim, sehingga hukum Islam terkadang dipahami dengan kurang tepat, bahkan salah.

Hubungan Antara Syariah dan Fiqih

Hubungan antara syariah dan fiqih sangat erat dan tidak dapat dipisahkan.

Syariah adalah sumber atau landasan fiqih, sementara fiqih merupakan pemahaman terhadap syariah.

Secara umum syariah merupakan hukum Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah yang belum dicampuri daya nalar (ijtihad).

Sedangkan fiqih adalah hukum Islam yang bersumber dari pemahaman terhadap syariah, baik Alquran maupun Sunnah.

Asaf A.A.Fyzee menjelaskan perbedaan kedua istilah tersebut dengan penjelasan sebagai berikut.

Bahwa syariah adalah sebuah lingkaran yang besar yang wilayahnya meliputi semua perilaku dan perbuatan manusia.

Sedang fiqih adalah lingkaran kecil yang mengurusi apa yang umumnya dipahami sebagai tindakan umum.

Syariah sering mengingatkan kita akan wahyu, ‘ilmu (pengetahuan) yang tidak akan pernah diperoleh seandainya tidak ada Alquran dan Sunnah.

Dalam fiqih ditekankan penalaran dan deduksi yang dilandaskan pada ilmu terus-menerus dikutip dengan persetujuan.

Jalan syariah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, bangunan fiqih ditegakkan oleh usaha manusia.

Dalam fiqih satu tindakan dapat digolongkan pada sah atau tidak sah, boleh atau tidak boleh. Dalam syariah terdapat berbagai tingkat pembolehan maupun pelarangan.

Fiqih merupakan istilah yang digunakan bagi hukum sebagai suatu ilmu; sedangkan syariah bagi hukum sebagai jalan kesalehan yang dikaruniakan dari langit (Fyzee, 1974: 21).

Tujuan Hukum Islam

Secara umum sering dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan.

Atau kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial.

Abu Ishaq al Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam, yaitu memelihara:

  1. Agama, merupakan tujuan pertama hukum Islam, karena agama merupakan pedoman hidup manusia.
  2. Jiwa, merupakan tujuan kedua hukum Islam, karena hukum Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.
  3. Akal, sangat dipentingkan oleh hukum Islam, karena dengan mempergunakan akalnya, manusia akan dapat berfikir tentang Allah, alam semesta, dan dirinya sendiri.
    Keturunan, agar kemurnian darah dapat dijaga dan kelanjutan ummat manusia dapat diteruskan.
  4. Harta, adalah pemberian Tuhan kepada manusia, agar manusia dapat mempertahankan hidup dan melangsungkan kehidupannya.
  5. Tujuan hukum Islam itu disebut al-maqasid al-khamsah atau al-maqasid al-shari’ah (tujuan-tujuan hukum Islam).

Tujuan hukum Islam tersebut di atas dapat dilihat dari dua segi, yaitu :

1. Dari segi pembuat hukum Islam itu sendiri, yakni Allah dan Rasul-Nya.

Tujuan hukum Islam adalah:

  • Tujuannya agar mencukupi kelangsungan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder, dan tersier yang dalam kepustakaan hukum Islam disebut dengan istilah daruriyyathajjiyat, dan tahsiniyyat.
  • Untuk mentaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari.
  • Supaya dapat ditaati dan dilaksanakan dengan baik dan benar, manusia wajib meningkatkan kemampuannya untuk memahami hukum Islam dengan mempelajari usul al fiqh yakni dasar pembentukan dan pemahaman hukum Islam sebagai metodologinya.

2. Dari segi manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam tersebut.

Tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kehidupan yang berbahagia dan sejahtera. Atau tujuan hakiki hukum Islam, jika dirumuskan secara umum, adalah tercapainya keridhaan Allah dalam kehidupan manusia di dunia ini dan di akhirat kelak.

Sumber Hukum Islam

Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.Disamping itu terdapat beberapa bidang kajian yang erat berkaitan dengan sumber hukum islam yaitu : ijma’, ijtihad, istishab, istislah, istihsun, maslahat mursalah, qiyas,ray’yu, dan ‘urf.

1. Al-Qur’an

            Al-Qur’an adalah sumber atau dasar hukum yang utama dari semua ajaran dan syari’at islam. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an yaitu  105. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat

Definisi tentang Al-Qur’an telah banyak dirumuskan oleh beberapa ulama’,akan tetapi dari beberapa definisi tersebut terdapat empat unsur pokok,yaitu :

  1. Bahwa Al-Qur’an itu berbentuk lafaz yang mengandung arti bahwa apa yang disampaikan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad dalam bentuk makna dan dilafazkan oleh Nabi dengan ibaratnya sendiri tidaklah disebut Al-Qur’an.
  2. Bahwa Al-Qur’an itu adalah berbahasa Arab
  3. Bahwa Al-Qur’an ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
  4. Bahwa Al-Qur’an itu dinukilkan secara mutawatir

Ayat Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan beberapa cara dan keadaan,antara lain, yaitu :

  1. Malaikat memasukkan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW
  2. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-katanya
  3. Wahyu datang seperti gemirincing lonceng
  4. Malaikat menampakkan diri kepada Nabi Muhammad SAW benar-benar sebagaimana rupanya yang asli

Ayat-ayat yang diturunkan tadi dibagi menjadi dua bagian/jenis,yaitu :

  1. Ayat-ayat Makkiyah
  2. Ayat-ayat Madaniyah

Di dalam ajaran islam terdapat ketentuan-ketentuan untuk membentuk sesuatu hukum,yaitu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Ushul Fiqih.Pengertian bahasa arab “Ushul Fiqih” secara harfiah adalah akar pikiran,dan secara ibarat (tamsil) adalah sumber hukum atau prinsip-prinsip tentang ilmu fiqih.Pada umumnya para fuqaha sepakat menetapkan dan Qiyas.

 2. Hadist

             Hadist adalah ucapan Rasulullah SAW tentang suatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia atau tentang suatu hal,atau disebut pula sunnah Qauliyyah.Hadist merupakan bagian dari sunnah Rasulullah.Pengertian sunnah sangat luas,sebab sunnah mencakup dan meliputi:

  1. Semua ucapan Rasulullah SAW yang mencakup sunnah qauliyah
  2. Semua perbuatan Rasulullah SAW disebut sunnah fi’liyah
  3. Semua persetujuan Rasulullah SAW yang disebut sunnah taqririyah

   Pada prinsipnya fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an sebagai penganut hukum yang ada dalam Al-Qur’an.Sebagai penganut hukum yang ada dalam Al-Qur’an,sebagai penjelasan/penafsir/pemerinci hal-hal yang masih global.Sunnah dapat juga membentuk hukum sendiri tentang suatu hal yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.Dalam sunnah terdapat unsur-unsur sanad (keseimbangan antar perawi),matan (isi materi) dan rowi (periwayat).

Dilihat dari segi jumlah perawinya sunnah dapat dibagi kedalam tiga kelompok yaitu :

  1. Sunnah Mutawattir : sunnah yang diriwayatkan banyak perawi
  2. Sunnah Masyur : sunnah yang diriwayatkan 2 orang atau lebih yang tidak mencapai tingkatan mutawattir
  3. Sunnah ahad : sunnah yang diriwayatkan satu perawi saja.

Pembagian hadist dapat pula dilakukan melalui pembagian berdasarkan rawinya dan berdasarkan sifat perawinya.

  1. Matan, teks atau bunyi yang lengkap dari hadist itu dalam susunan kalimat yang tertentu.
  2. Sanad, bagian yangg menjadi dasar untuk menentukan dapat di percaya atau tidaknya sesuatu hadist. Jadi tentang nama dan keadaan orang-orang yang sambung-bersambung menerima dan menyampaikan hadist tersebut, dimulai dari orang yang memberikannya sampai kepada sumbernya Nabi Muhammad SAW yang disebut rawi.

Ditinjau dari sudut periwayatnya ( rawi ) maka hadist dapat di golongkan ke dalam empat tingakatan yaitu:

  • Hadist mutawir, hadist yang diriwayatkan oleh kaum dari kaum yang lain hingga sampai pada Nabi Muhammad SAW.
  • Hadist masyur, hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang, kemudian tersebar luas. Dari nabi hanya diberikan oleh seorang saja atau lebih.
  • Hadist ahad, hadist yang diriwayatkan oleh satu, dua atau lebih hingga sampai kepada nabi muhammad.
  • Hadist mursal, hadist yang rangkaian riwayatnya terputus di tengah-tengah,se hingga tidak sampai kepada Nabi Muhammad SAW.      

  3. Al-Ijma’

Ijma’ menurut hukum islam pada prinsipnya ijma’ adalah kesepakatan beberapa ahli istihan atau sejumlah mujtahid umat islam setelah masa rasulullah tentang hukum atau ketentuan beberapa masa yang berkaitan dengan syariat atau suatu hal. Ijma merupakan salah satu upaya istihad umat islam setalah qiyas.

Kata ijma’ berasal dari kata jam’ artinya maenghimpun atau mengumpulkan. Ijma’ mempunyai dua makna, yaitu menyusun mengatur suatu hal yang tak teratur,oleh sebab itu berarti menetapkan memutuskan suatu perkara,dan berarti pula istilah ulama fiqih (fuqaha). Ijma berati kesepakatan pendapat di antara mujtahid, atau persetujuan pendapat di antara ulama fiqih dari abad tertentu mengenai masalah hukum.

Apabila di kaji lebih mendalam dan mendasar terutama dari segi cara melakukannya, maka terdapat dua macam ijma’ yaitu :

  1. Ijma’ shoreh (jelas atau nyata) adalah apabila ijtihad terdapat beberapa ahli ijtihad atau mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan masing-masing secara tegas dan jelas.
  2. Ijma’ sukuti (diam atau tidak jelas) adalah apabila beberapa ahli ijtihad atau sejumlah mujtahid mengemukakan pendapatnya atau pemikirannya secara jelas.

Apabila ditinjau dari segi adanya kepastian hukum tentang suatu hal, maka ijma’ dapat digolongkan menjadi :

  1. Ijma’ qathi yaitu apabila ijma’ tersebut memiliki kepastian hukum ( tentang suatu hal)
  2. Ijma’ dzanni yaitu ijma’ yang hanya menghasilkan suatu ketentuan hukum yang tidak pasti.

Pada hakikatnya ijma’ harus memiliki sandaran, danya keharusan tersebut memiliki beberapa aturan yaitu :

Pertama: bahwa bila ijma’ tidak mempunyai dalil tempat sandarannya, ijma’ tidak akan sampai kepada kebenaran.

Kedua: bahwa para sahabat keadaanya tidak akan lebih baik keadaan nabi, sebagaimana diketahui, nabi saja tidak pernah menetapkan suatu hukum kecuali berdasarkan kepada wahyu.

Ketiga: bahwa pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil baik kuat maupun lemah adalah salah.kalau mereka sepakat berbuat begitu berati mereka sepakat berbuat suatu kesalahan yang demikian tidak mungkin terjadi.

Keempat: bahwa pendapat yang tidak didasarkan kepada dalil tidak dapat diketahui kaitannya dengan hukum syara’ kalau tidak dapat dihubungkan kepada syara’ tidak wajib diikuti.

 4. Al-Qiyas

Qiyas ialah menyamakan suatu peristiwa yang tidak ada hukumnya dalam nash kepada kejadian yang lain yang hukumnya dalam nash karena adanya kesamaan dua kejadian dalam illat hukumnya.Seterusnya dalam perkembangan hukum islam kita jumpai qiyas sebagai sumber hukum yang keempat. Arti perkataan bahasa arab “Qiyas” adalah menurut bahasa ukuran, timbangan. Persamaan (analogy) dan menurut istilah ali ushul fiqih mencari sebanyak mungkin  persamaan antara dua peristiwa dengan mempergunakan cara deduksi (analogical deduction).

Yaitu menciptakan atau menyalurkan atau menarik suatu garis hukum yang baru dari garis hukum yang lama dengan maksud memakaiakan garis hukum yang baru itu kepada suatu keadaan, karena garis hukum yang baru itu ada persamaanya dari garis hukum yang lama.Sebagai contoh dapat dihadirkan dalam hal ini yaitu surat Al-Maidah ayat 90,yakni :

 “ hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk berhala) mengundi nasb dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(QS.Al-Maidah : ayat 90)

Menurut ketentuan nash, khamar dilarang karena memabukkan da dampak negatifnya akan menyebabkan rusaknya badan, pikiran dan pergaulan. Dengan  demikian sifat memabukkan dimiliki sebagai sebab bagi ketentuan hukum haram. Hal ini dapat diqiyaskan bahwa setiap minuman yang memabukkan haram hukumnya jadi dilarang di dalam hukum islam.

Contoh Macam Hukum Dalam Islam

1. Wajib (Fardlu)

Suatu perbuatan yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim dan muslimah yang telah dewasa atau waras (mukallaf), di mana jika dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan akan mendapat dosa.

Contoh: solat lima waktu, pergi haji (jika telah mampu), membayar zakat, dan lain-lain.

Wajib terdiri atas dua jenis/macam:

  • Wajib ‘ain yaiut suatu perbuatan yang harus dilaksanakan oleh semua orang muslim mukallaf seperti sholah fardu, puasa ramadan, zakat, haji bila telah mampu dan lain-lain.

  • Wajib Kifayah yaitu perbuatan yang harus dilakukan oleh muslim mukallaff tetapi apabila sudah ada yang melaksanakannya maka menjadi tidak wajib lagi bagi yang lain seperti mengurus jenazah.

2. Sunnah/Sunnat

Sunnat merupakan suatu perkara yang bila dilakukan umat islam akan mendapat pahala dan jika tidak dilaksanakan tidak berdosa.

Seperti, sholat sunnat, puasa senin kamis, solat tahajud, memelihara jenggot, dan lain sebagainya.

Sunah terbagi atas dua jenis/macam:

  • Sunah Mu’akkad yaitu sunnat yang sangat dianjurkan Nabi Muhammad SAW seperti shalat ied dan shalat tarawih.

  • Sunat Ghairu Mu’akad adalah adalah sunnah yang jarang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW seperti puasa senin kamis, dan lain-lain.

3. Haram

Haram merupakan suatu perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh umat muslim, karena jika dilakukan akan mendapat dosa dan siksa di neraka kelak. Sepeti, main judi, minum minuman keras, zina, durhaka pada orang tua, riba, membunuh, fitnah, dan lain-lain.

4. Makruh

Makruh merupakan suatu perbuatan yang sebaiknya tidak dilakukan. Tetapi jika dilakukan tidak berdosa dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala dari Allah SWT. Seperti, posisi makan minum berdiri.

5. Mubah (Boleh)

Mubah merupakan suatu perbuatan yang jika dikerjakan seorang muslim mukallaf tidak akan mendapat dosa dan tidak mendapat pahala. Seperti, makan dan minum, belanja, bercanda, melamun, dan lain sebagainya.

 

Last modified: Friday, 16 October 2020, 1:31 PM